Sabtu, 03 November 2012

FIQH MUAMALAH INDIVIDU


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan Rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga kita dapat melakukan akativitas mencari ilmu yang merupakan ilmu yang menjadi dasar kita dalam memahami islam dan ajaran ketauhidan sebagai pengetahuan untuk dapat menguatkan iman kita dan dapat menjadi seorang muslim yang mengerti dan mampu menjalankan ajaran islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist sebagai sumber hukum islam dan kita disini Alhamdulillah dapat menjalankan ibadah menuntut ilmu yang sangat bermanfaat ini  dalam keadaan sehat wal’afiat.
Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang membimbing kita dari zaman Jahiliyah sampai zaman yang terang benderang saat ini, tidak lupa kami sampaikan banyak-banyak terimakasih kepada Dra. Nurul Hanani, M. HI  atas bimbingannya yang menjadikan kita semua dapat ilmu yang bermanfaat ini,makalah yang kami buat ini berisi ilmu tentang wasiat dan waris yang merupakan salah satu dari bagian silabus yang telah menjadi kesepakatan belajar dalam mata kuliah Fiqih Muamalah I.














BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
 Didalam ajaran islam terdapat suatu hukum yang mengatur masalah harta pusaka,yakni Wasiat dan Waris yang biasanya menjadi sumber sengketa dalam keluarga, terutama apabila menentukan siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Dan setelah itu, apabila berhak , seberapa banyak hak itu, hal ini menimbulkan perselisihan dan menimbulkan keretakan dalam kekeluargaan dalam bermasyarakat. Karena itu datanglah islam dengan ketentuan dari Allah SWT dalam hal waris mewaris sehingga apabila orang-orang dilandasi ketaqwaan kepada Allah maka semuanya akan berjalan lancar, sehingga syariat  islam  menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Sehingga didalam makalah ini akan dijelaskn mengenai pengertian syarat, rukun dan penghalang wasiat dan waris yang merupakan satu kaitan dalam muamalah.


B.     Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian dan dasar hukum wasiat ?
  1. Apa saja rukun, syarat dan batalnya wasiat?
3.      Bagaimana  bedanya dengan waris ?


    BAB II
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN DAN DASAR HUKUM WASIAT
wasiat itu berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata was-sha. Artinya menurut ilmu bahasa ialah pesan, petaruh, nasehat, dsb. Adapun pengertiannya menurut istilah Syariah ialah: pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya.Sesuai firmanNya:

|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$# ÇÊÑÉÈ .`yJsù ¼ã&s!£t/ $tBy÷èt/ ¼çmyèÏÿxœ !$uK¯RÎ*sù ¼çmßJøOÎ) n?tã tûïÏ%©!$# ÿ¼çmtRqä9Ïdt7ム4 ¨bÎ) ©!$# ììÏÿxœ ×LìÎ=tæ ÇÊÑÊÈ

Artinya :Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. Maka barangsiapa yang mengubah wasiat itu, setelah ia mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya adalah bagi orang-orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S Al-Baqarah:180-181).
Adapun dalam melakukan wasiat  terdapat beberapa  macam hukumnya yakni:
v  Wajib, apabila wasiat itu untuk hak-hak Allah yang dilalaikan oleh orang yang berwasiat, misalnya: zakat yang belum di bayar, kafarat, nadzar,dll
v  Sunnah, untuk orang-orang yang tidak menerima pusaka atau untuk  motif social, seperti: berwasiat kepada fakir miskin, anak yatim yang bertujuan menambah amal  kepada Allah.
v  Haram, berwasiat untuk keperluan maksiat seperti: berwasiat untuk mendirikan tempat perjudian, pencurian,dll.[1]
v  Makruh, berwasiat kepada keperluan lain-lain, dengan wasiat itu mereka akan bertambah gila dan bertambah dalam melakukan maksiat, misalnya; berwasiat kepada anak yang ketagihan narkotika untuk membeli ganja keperluan anak itu.
v  Mubah, berwasiat kepada kaum kerabat atau tetangga yang penghidupan mereka tidak kekurangan.
B. RUKUN SYARAT DAN BATALNYA WASIAT
a. Rukun wasiat
o   Harus ada orang yang berwasiat ( mushi )
o   Harus ada seseorang atau badan hukum yang menerima wasiat ( musha-lahu )
o   Sesuatu yang diwasiatkan ( musha-bihi ),berupa harta/sesuatu yang bermanfaat.
o   Lafal/ucapan wasiat ( sighat ),adanya ijab dan qobul.[2]
b. Syarat wasiat
            Untuk syahnya sesuatu wasiat dapat dipergunakan segala perbuatan yang memberi pengertian secara lisan, dapat pula berbentuk tulisan yang dapat di mengerti bagi orang yang tidak dapat berbicara,kemudian harta yang diwasiatkan itu tidak boleh lebih dari sepertiga dari harta yang dimiliki oleh yang berwasiat,sesuai tafsiran hadist yang menceritakan tentang Sa’ad bin Abi Waqash RA,yang ketika sakit keras dikunjungi Rasulallah yang menyatakan bahwa wasiat lebih baik adalah sepertiga dari harta yang dimiliki.[3]
c. Batalnya wasiat
Ø  Mushi (pewasiat) menarik wasiatnya.
Ø  Mushi kehilangan kecakapan untuk bertindak.
Ø  Mushi meninggalkan utang yang mengakibatkan habis harta bendanya untunk pembayaran utang-utangnya.
Ø  Musha-lahu (penerima wasiat) meninggal dunia lebih dahulu dari mushi (pemberi wasiat).
Ø  Musha-lahu membunuh mushi.
Ø  Musha lahu (penerima wasiat) menolak wasiat.
Ø  Musha- bihi (sesuatu yang diwasiatkan ) itu keluar dari milik mushi (pewasiat) sebelum mushi meninggal dunia.

C. BEDANYA DENGAN WARIS
a. Pengertian Waris
            Al-Fara’idh,kata jama’ dari Al-Faridhoh yang artinya bagian yang ditentukan kadarnya. Definisi ini berlaku juga dalam ilmu mawarist sebab ilmu mawarist tidak lain adalah nama lain dari Al-Fara’id.
            Adapun kata al-mawarist, adalah jama’ dari kata mirots yang diartikan dengan al-murutsu adalah harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta disebut al-muwarritsu, sedang ahli waris disebut al-waritsu. Pengertian peninggalan tersebut yakni sesuatu yang ditinggalkan pewaris,baik berupa harta (uang), tanah  atau lainnya yang berupa hak milik legal secara syar,i.[4] kemudian firman Allah mengenai ketentuan  waris terdapat dalam surat An-Nisa’ayat 7:

ÉA%y`Ìh=Ïj9 Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# tbqç/tø%F{$#ur Ïä!$|¡ÏiY=Ï9ur Ò=ŠÅÁtR $£JÏiB x8ts? Èb#t$Î!ºuqø9$# šcqç/tø%F{$#ur $£JÏB ¨@s% çm÷ZÏB ÷rr& uŽèYx. 4 $Y7ŠÅÁtR $ZÊrãøÿ¨B ÇÐÈ
Artinya : Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.




b.Rukun Waris
  • Pewaris : orang yang meninggal dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.[5]
  • Ahli waris : mereka yang berhak untuk menguasai atau menerima harta peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan atau lainnya.
  • Harta warisan : segala jenis benda atau kepemilikan yang dsitinggalkan pewaris, baik berupa tanah , harta (uang) dan sebagainya.

d.Golongan Ahli Waris
Berdasarkan besarnya hak yang akan diterima oleh para ahli-waris, maka ahli waris di dalam hukum waris islam dibagi kedalam tiga golongan, yaitu :
  1. Ashchabul-furudh, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tertentu, yaitu 2/3,   ½, 1/3, ¼, 1/6, atau 1/8. Para ahli fara’id membedakan ashchabul-furudh kedalam dua macam yaitu :
v  Ashchabul-furud is-sababiyah, adalah golongan ahli waris sebagai adanya ikatan perkawinan dengan si pewaris. Ini adalah janda (laki-laki atau perempuan)
v  Ashchabul-furud in-nasabiyah, adalah golongan ahli waris sebagai akibat adanya hubungan darah dengan si pewaris. Ini adalah :
§  Leluhur perempuan : Ibu dan Nenek
§  Leluhur laki-laki : Bapak dan kakek
§  Keturunan perempuan: Anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki
§  Saudara seibbu: Saudara perempuan seibu dan saudara laki-laki seibu
§  Saudara sekandung/sebapak: Saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan sebapak
  1. Ashabah, yaitu golongan ahli waris yang bagian haknya tidak ditertentu, tetapi mendapatkan ushubah (sisa) dari ashchabul-furudh atau mendapatkan semuanya jika tidak ada ashchabul-furudh. Para ahli fara’id membedakan asabah kedalam tiga macam, yaitu:
·         Ashabah binnafsih,adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan dengan si mati tanpa diselingi oleh orang perempuan, yaitu :Leluhur laki-laki : Bapak dan kakek, Keturunan laki-laki: anak laki-laki dan cucu laki-laki, Saudara sekandung/sebapak: saudara laki-laki sekandung/sebapak
·         Ashabah bil-ghair, adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah dan untuk bersama-sama menerima ushubah, yaitu:Anak perempuan yang mewaris bersama dengan anak laki-laki, Cucu perempuan yang mewaris bersama cucu laki-laki; dan Saudara perempuan sekandung/sebapak yang mewaris bersama dengan saudara laki-laki sekandung/sebapak.
·         Ashabah ma’al ghair, adalah kerabat perempuan yang memerlukan orang lain untuk menjadi ashabah, tetapi orang lain  tersebut tidak berserikat dalam menerima ushubah, yaitu : saudara perempuan sekandung, saudara perempuan sebapak yang mewaris bersama anak perempuan atau cucu perempuan.
  1. Dzawil-arham, yaitu golongan kerabat yang tidak termasuk golongan ashchabul-furudh dan ashabah. Kerabat golongan ini baru mewaris jika tidak ada kerabat yang termasuk kedua golongan di atas. [6]
e.Derajat ahli waris
Antara ahli waris yang satu dan lainnya ternyata mempunyai perbedaan derajat dan urutan, berikut adalah beberapa urutan yang mendapat bagian harta warisan:
  1. Ashbabul furudh.golongan inilah yang pertama menerima warisan, mereka adalah orang-orang yang ditentukan bagiannya dalam Alqur’an,As-sunnah, dan ijma’.
  2. Ashabat nasabiyah yaitu kerabat (nasab) pewaris yang menerima sisa harta warisan yang dibagikan,bahkan jika ternyata tidak ada ahli waris lainnya,ia berhak mengambil seluruh harta peningalan.misal anak laki-laki pewaris, cucu dari anak laki-laki pewaris, saudara kandung pewaris atau paman kandung.
  3. Penambahan bagi asbabul furud sesuai bagian kecuali suami istri. Apabila harta warisan yang telah dibagikan kepada semua ahli warisnya masih juga tersisa,maka hendaknya diberikan asbabul furudh masing-masing sesuai dengan bagian yang telah ditentukan.
  4. Mewariskan kepada kerabat yang masih memiliki kaitan rahim tidak termasuk asbabul furudh dan ashabah,misal paman (saudara ibu),bibi (saudara ibu), bibi (saudara ayah),cucu laki-laki dari anak perempuan dan para kerabat lain yang masih mempunyai ikatan rahim.
  5. Tambahan hak waris bagi suami dan istri. Bila pewaris tidak mempunyai ahli waris yang termasuk ashbabul furudh dan ashabah,juga tidak ada kerabat yang memilki ikatan rahim,maka harta tersebut seluruhnya menjadi milik suami atau istri.
  6. Ashabah karena sebab yakni orang yang memerdekakan budak.misal seorang budak meninggal dan mempunyai harta warisan maka orang yang pernah memerdekakannya termsuk salah satu ahli warisnya,dan sebagai ashabah.
  7. Baitul mal (kas Negara).apabila seorang meninggal tidak mempunyai ahli waris ataupun kerabat seperti diatas maka seluruh hartanya diserahkan kepada kas Negara untuk kemaslahatan umum.[7]
f.Penghalang Pewarisan
  • Budak : seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya, sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung milik tuannya.
  • Pembunuhan : apabila seorang ahli waris membunuh pewaris (misal:anak  membunuh ayahnya), maka ia tidak berhak mendapatkan warisan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulallah SAW :
ليس للقا تل من تر كة ا لمقتو ل شيء[8]
 “ Tidaklah seorang pembunuh berhak mewarisi harta orang yang dibunuhnya.”
Dari pemahaman hadist Nabi diatas maka lahirlah ungkapan yang sangat masyhur dikalangan fuqaha yang sekaligus dijadikan sebagai kaidah : “ siapa yang menyegerakan agar mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia tidak mendapat bagiannya.”
  • perbedaan agama : seorang muslim tidak dapat mewarisi ataupun diwarisi oleh nonmuslim, apap pun agamanya. Hal ini telah ditegaskan Rasulallah SAW.dalam sabdanya :
لا ير ث ا لسلم ا لكا فر و لا ا لكا فر ا لمسلم
“ Tidaklah berhak seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidk pula kafir mewarisi muslim.(HR. Bukhori dan Muslim).

g.Cara sederhana menghitung harta warisan:

Misalkan seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri, ibu dan dua  anak laki-laki. Harta peninggalannya sebesar Rp 96.000.000,00. maka bagian mereka masing-masing sebagai berikut:
Langkah pertama bagian istri:1/6 dan ibu:1/8, maka dicari KPT  (kelipatan Persekutuan Terkecil) yakni: 24
Isteri                =1/6  x 24                    = 4
Ibu                   =1/8 x 24                     = 3
Jumlah                                                 = 7
Dua anak laki-laki (Ashabah)  sisa      =17
Jumlah                                                 =24

Langkah berikutnya:

Isteri                            =4/24   x Rp 96.000.000,00    =Rp 16.000.000,00
Ibu                               =3/24   x Rp 96.000.000,00    =Rp 12.000.000,00
Anak laki-laki              =17/24 x Rp 96.000.000,00    =Rp 26.000.000,00
JUMLAH                                                                    =Rp 96.000.000,00[9]
Setelah dijumlah harus sesuai harta peninggalan itulah perhitungan yang berdasarkan Hukum Islam.
BAB III

PENUTUP
  1. KESIMPULAN
Bahwasannya secara sederhana, pengertian dari wasiat adalah pesan terakhir yang diucapkan dengan lisan atau disampaikan dengan tulisan oleh seseorang yang akan wafat berkenaan dengan harta benda yang ditinggalkannya kemudian dalam wasiat harta yang diwasiatkan  maksimal adalah sepertiga dan didalamnya terdapat syarat rukun wasiat seperti halnya waris,kemudian dapat dipahami bahwa perbedaannya yakni pengertian waris  adalah harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya dan diberikan beberapa aturan bagian- bagian yang berhak mendapatkannya. maka Syariat  islam  menetapkan aturan Wasiat dan Waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya.
Maka, Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan Wasiat dan pembagian Waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw, Dan ijma’ para ulama sangat sedkit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat islam sedikit sekali ayat Al-Qur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan  salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah SWT.









DAFTAR PUSTAKA

Rahman, Asyumi A. fiqh 3 .Jakarta : Gaya Media Pratama,1986.
Ash-Shabuni, Ali.Pembagian Waris Menurut Islam.Jakarta:Gema Insani Press.1996.
Ramulyo, Idris.Perbandingan Hukum Kewarisan Islam.Jakarta:Sinar Grafika Offset. 2004.
Salaman, Otje. dkk. Hukum Waris Islam .Bandung:Refika Aditama. 2002.
Usman Suparman.dkk.Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam Jakarta:Gaya Media Pratama,1997.










[1] Idris Ramulyo,Perbandingan Hukum Kewarisan Islam,(Sinar Grafika Offset:Jakarta, 2004),105

[2] Ibid., hlm.109

[3] Asyumi A.Rahman”fiqh 3” (Gaya Media Pratama:Jakarta,1986),13

[4] Ibid 2-3
[5] Ibid 17
[6] Otje Salaman, dkk, Hukum Waris Islam, (Refika Aditama:Bandung,2002),51-53
[7] Muhammad Ali Ash-Shabuni,Pembagian Waris Menurut Islam,(Gema Insani Press:Jakarta,1996)  38.
[8] Ibid 41-42
[9] Suparman Usman,dkk, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,(Gaya Media Pratama:Jakarta,1997),110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar