Sabtu, 27 Oktober 2012

WAKAF DEPOSITO DAN PENGELOLAANNYA

WAKAF DEPOSITO DAN MANAJEMEN PENGELOLAANNYA Oleh: khoirul Amin A. Pendahuluan Bila berbicara masalah wakaf dalam perspektif sejarah Islam (al-târih al-islâmi), tidak dapat dipisahkan dari pembicaraan tentang perkembangan hukum Islam dan esensi misi hukum Islam. Untuk mengetahui perkembangan sejarah perkembangan hukum Islam perlu melakukan penelitian dengan cara menelaah teks (wahyu) dan kondisi sosial budaya masyarakat di mana hukum Islam itu berasal. Sebab hukum Islam merupakan perpaduan antara wahyu Allah Swt. dengan kondisi masyarakat yang ada pada saat wahyu itu diturunkan. Misi hukum Islam sebagai aturan untuk mengejawantahkan nilai-nilai keimanan dan aqidah mengemban misi utama yaitu mendistribusikan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat, baik keadilan hukum, keadilan social maupun keadilan ekonomi.[1] Rasa keadilan adalah suatu nilai yang abstrak, tetapi ia menuntut suatu tindakan dan perbuatan yang konkrit dan positif. Pelaksanaan ibadah wakaf adalah sebuah contoh yang konkrit atas rasa keadilan social, sebab wakaf merupakan pemberian sejumlah harta benda yang sangat dicintai diberikan secara cuma-cuma untuk kebajikan umum. Si wakif dituntut dengan keikhlasan yang tinggi agar harta yang diberikan sebagai harta wakaf bias memberikan manfaat kepada masyarakat banyak, karena keluasan ekonomi yang dimilikinya merupakan karunia Allah yang sangat tinggi.[2] Di tengah permasalahan sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi dewasa ini, eksistensi lembaga wakaf menjadi sangat urgen dan strategis. Di samping sebagai salah satu aspek ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial). Oleh karena itu sangat penting dilakukan pendefinisian ulang terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan. Perbincangan tentang wakaf sering kali diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya, sumur untuk diambil airnya. Dan dari segi pengamalan wakaf, dewasa ini tercipta suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf, yaitu pertama, wakaf itu umumnya berujud benda bergerak khususnya tanah yang di atasnya didirikan masjid atau madrasah dan penggunaannya didasarkan pada wasiat pemberi wakaf (wâkif) dengan ketentuan bahwa untuk menjaga kekekalannya tanah wakaf itu tidak boleh diperjualbelikan dengan konsekuensi bank-bank tidak menerima tanah wakaf sebagai angunan. Sedangkan wakaf benda yang bergerak baru mengemuka belakangan ini. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai diperbincangkan belakangan ini adalah wakaf yang dikenal dengan istilah wakaf tunai (cash waqf) yang dalam tulisan ini dibatasi pada wakaf deposito. B. Pengertian Wakaf Deposito Menurut pengertian bahasa, kata wakaf diambil dari bahasa Arab, kata benda abstrak (masdar) وقف atau kata kerja (fi`il) وقث- يقف yang dapat berfungsi sebagai kata kerja intransitive (fi`il lâzim) atau transitif (fi`il muta`âdi) yang berarti menahan, mewakafkan, harta yang diwakafkan, harta wakaf.[3] Dan kata wakaf ini dalam bahasa Arab memiliki makna yang sama dengan beberapa kata di antaranya: حيس - احبس – صدقة – تحريم – سبيل – يسبل - سبل[4] Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi wakaf, di antaranya: EJ. Bill Leiden dalam The Shorter Encyclopaedia of Islam sebagaimana dikutip oleh Muhamad Daud Ali menyatakan bahwa wakaf adalah to protect a thing, to provent it from becoming the property of a third person (memelihara suatu barang atau benda dengan jalan menahannya agar tidak menjadi milik pihak ketiga).[5] Dalam kompilasi Hukum Islam pada pasal 215 ayat (1) dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.[6] Senada dengan ungakapan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Nomor 41 tahun 2004 memaparkan bahwa: "Wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebahagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari`ah".[7] Mayoritas ahli fiqih (pendukung mazhab Hanafi, Syafi`i, dan Hambali) merumuskan pengertian wakaf menurut syara sebagai berikut: حبس مال يمكن الانتفاع به مع بقاء عينه بقظع التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود "Penahanan (pencegahan) harta yang mungkin dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya dengan cara tidak melakukan tindakan pada bendanya disalurkan kepada yang mubah (tidak terlarang) dan ada" [8] Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu: Menahan harta (baik berupa asset tetap maupun asset lancer-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.[9] Dari definisi-definisi di atas dapat dikemukakan karakteristik wakaf, yaitu: adanya penahanan (pencegahan) dari menjadi milik dan obyek pemilikan, yang diwakafkan berupa harta, dapat dimanfaatkan (mengandung manfaat), tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan, dan disalurkan kepada hal-hal yang tidak dilarang oleh ajaran Islam. Deposito secara bahasa berasal dari bahasa Inggris deposit yang artinya setoran, simpanan, uang pangkal.[10] Sedangkan menurut istilah perbankan deposito adalah simpanan dari pihak ketiga kepada bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara pihak ketiga dengan bank yang bersangkutan.[11] Dari pernyataan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa wakaf deposito dapat dikategorikan wakaf tunai karena merupakan wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk deposito yang termasuk ke dalam pengertian uang. Dan secara sempit dapat dikatakan bahwa wakaf deposito dalam tulisan ini berarti wakaf uang yang disimpan di bank dalam jangka waktu tertentu yang keuntungannya dipergunakan untuk keperluan tertentu yang ditetapkan oleh wakif dalam rangka mensejahterakan umat. C. Wakaf Deposito dan Manajemen Pengelolaannya Wakaf deposito ini merupakan bagian dari wakaf tunai (cash waqf) yang berarti wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Dan termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.[12] Wakaf bentuk ini merupakan hasil interpretasi radikal yang berbentuk benda bergerak sebagai asset lancar. Wakaf tunai ini muncul secara mengejutkan karena berlawanan dengan persepsi umat Islam yang menganggap bahwa wakaf merupakan sumbangan berupa asset tetap (property of permanent) oleh seorang muslim dengan tujuan murni ketaqwaan.[13] Wakaf deposito ini merupakan kelompok wakaf tunai yang sangat prospektif. Oleh karena itu, agar wakaf deposito ini dapat memberikan manfaat yang riil terhadap masyarakat luas, maka lembaga pengelola wakaf jenis ini harus menggunakan manajemen yang propesional. Manajemen wakaf deposito ini akan melibatkan tiga pihak, yaitu, 1. Pemberi wakaf (wâkif), 2. Pengelola wakaf (nazir), 3. Beneficiary (muqûf `alaih)/ masyarakat yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf. Wâkif akan memberikan hartanya (uang) sebagai wakaf kepada lembaga pengelola wakaf dan keuntungannya didistribusikan kepada masyarakat luas yang membutuhkan. Oleh karena itu lembaga pengelola wakaf ini paling tidak harus memenuhi criteria sebagai berikut: · Memiliki akses yang baik kepada calon wâkif · Memiliki kemampuan untuk menginvestasikan dana wakaf · Mampu mendistribusikan hasil/keuntungan dari investasi dana wakaf. · Memiliki kemampuan untuk mencatat segala hal yang berkaitan dengan beneficiary, misalnya rekening dan peruntukannya. · Lembaga ini hendaknya dipercaya oleh masyarakat dan kinerjanya dikontrol sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadap lembaga-lembaga pengelola dana publik[14] Lembaga-lembaga yang dapat dipercaya dan dapat memenuhi kriteria untuk mengelola wakaf deposito ini adalah lembaga-lembaga keuangan syarî`ah yang paling tidak memiliki empat tujuan dalam rangka pengelolaan dana wakaf tunai itu, di antaranya: · Menyediakan jasa layanan perbankan dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai dan memanfaatkan manajemen yang baik dalam pengelolaan dana wakaf tunai tersebut. · Membantu melakukan mobilisasi tabungan social dan melakukan transformasi dari tabungan social ke modal. · Memberikan benefit kepada masyarakat, terutama kepada masyarakat miskin melalui optimalisasi sumber daya masyarakat yang kaya. · Membantu mengembangkan pasar modal sosial (social capital market), yaitu tempat terjadinya transaksi bagi kegiatan amal dimana seseorang pada tempat tersebut bias menentukan arah penggunaan dari amal yang diserahkannya.[15] Pada tataran Operasional, wakaf deposito ini dapat dijabarkan ke dalam beberapa hal sebagai berikut: · Wakaf deposito harus diterima sebagai sumbangan yang sesuai dengan tuntunan syarî`ah. Sedang bank yang bertindak sebagai nazîr harus mengelola wakaf tersebut atas nama wâkif. · Wâkif memiliki kebebasan memilih, untuk tujuan apa dana hibah yang ia berikan · Wakaf deposito dilakukan dengan batas waktu yang ditetapkan oleh wâkif.[16] Untuk manajemen pengelolaan wakaf deposito ini, Ahmad Djunaedi dalam bukunya Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai memaparkan beberapa hal yang perlu diperhatikan, di antaranya: 1. Sistim Mobilisasi Dana Wakaf Wakaf deposito sebagai bagian wakaf tunai merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan peran wakaf dalam bidang ekonomi. Karana wakaf jenis ini memiliki kekuatan yang bersifat umum dimana setiap orang dapat menyumbangkan hartanya tanpa batas-batas tertentu, yang wujud dan penggunaannya pun sangaf fleksibel yang dapat menjangkau seluruh potensi untuk dikenbangkan. Dana wakaf ini dapat diperoleh dari muslim kelas menengah yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia ini. Hal ini merupakan potensi yang sangat luar biasa apalagi jika dana tersebut diserahkan kepada pengelola yang professional dan oleh pengelola tersebut diinvestasikan pada sector yang produktif. Dijamin dananya tidak akan berkurang, tapi bertambah bahkan bergulir.[17] Oleh karena itu model wakaf seperti ini sangat tepat untuk memberikan jawaban yang menjanjikan dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial dan membantu mengatasi krisis ekonomi yang berkepanjangan di Negara Indonesia ini. Ia sangat potensial untuk menggalang sumber pendanaan abadi yang dapat melepaskan bangsa ini dari jerat hutang dan ketergantungan pada bantuan luar negeri. Dalam hal ini, Indonesia harus belajar dari Bangladesh, tempat kelahiran instrument eksperimental melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) yang menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan social lainnya melalui mekanisme produk funding baru berupa Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Certificate Waqf) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dengan tidak menggantungkan diri pada anggaran pemerintah dan pinjaman asing, maka diharapkan penerapat instrument Sertifikat Wakaf Tunai ini mampu menjadi alternative sumber pendanaan sosial.[18] 2. Manajemen Investasi Dana Abad ke-8 dan ke-9 Hijriyah dipandang sebagai jaman keemasan perkembangan wakaf. Pada saat itu wakaf meliputi berbagai macam benda, yaitu masjid, mushalla, sekolah tanah pertanian, rumah, took, kebun, pabrik roti, bangunan kantor, gedung pertemuan dan perniagaan, bazaar, pasar, tempat pemandian, tempat pemangkas rambut, gedung beras, pabrik sabun, pabrik penetasan telur, dan lain-lain. Dari data di atas jelaslah bahwa masjid, mushalla, dan sekolah hanya segaian dari benda yang diwakafkan. Bahkan pada periode selanjutnya, wakaf dapat memfasilitasi sarjana dan mahasiswa untuk melakukan berbagai kegiatan riset dan menyelesaikan studi. Di Mesir, Yordania, Saudi Arabia, dan Turki wakaf selain berupa sarana dan prasarana ibadah dan pendidikan juga berupa tanah pertanian, perkebunan, flat, uang, saham, real estate, dan lain sebagainya yang dikelola secara produktif.[19] Namun sayang, cerita kegemilangan pengelolaan harta wakaf di Negara-negara muslim ternyata belum terjadi di Indonesia. Padahal kalau dilihat jumlahnya, harta wakaf di seluruh tanah air terbilang cukup besar. Sebagian besar wakaf itu berupa atau digunakan untuk rumah ibadah, lembaga pendidikan Islam, pekuburan, dan lain-lain yang rata-rata tidak produktif. Dengan adanya gagasan tentang wakaf deposito atau lebih umum wakaf tunai di Indonesia, yang didorong oleh Undang-undang tentang Wakaf No. 41 tahun 2004 yang di dalamnya diatur tentang wakaf benda bergerak, lalu dikuatkan dengan Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang wakaf uang pada tanggal 11 Mei 2002, diharapkan pemberdayaan wakaf dengan manajemen yang baik dan modern ini akan lebih terasa manfaatnya dalam rangka menjalin kekuatan ekonomi umat demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak. Tentu saja pemberdayaan ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, khususnya dunia perbankan atau lembaga lain yang tertarik dengan pengembangan wakaf. Kerja sama kemitraan ini memerlukan dukungan dan komitmen dari semua pihak seperti pemerintah, ulama, kaum propesional, cendikiawan, pengusaha, perbankan dan sebagainya. 3. Perluasan Pemanfaatan Dana Secara kuantitas benda wakaf di Indonesia sangat banyak. Ia selama ini dikelola oleh para nazir wakaf baik perorangan yang terdiri dari seorang ketua, seorang sekretaris, dan beberapa anggota maupun nâzir badan hukum, yaitu yayasan Islam seperti Muhammadiyyah, Nahdatul `Ulama, dan lain-lain. Namun lembaga wakaf ini belum terasa manfaatnya secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Agar wakaf di Indonesia dapat memberikan kesejahteraan social bagi masyarakat, maka diperlukan pengelolaan wakaf secara optimal oleh para nâzir. Untuk mendorong atau mengoptimalkan wakaf oleh para nâzir, perlu ada suatu badan wakaf yang berskala nasionalyang berfungsi antara lain memberikan pertimbangan pengelolaan wakaf. Di samping itu juga badan wakaf tersebut berfungsi sebagai nazir untuk pengelola wakaf produktif atau wakaf tunai.[20] Pengelolaan dana wakaf sebagai instrument investasi bisa menjadi alternatif kebuntuan pengelolaan harta wakaf. Artinya pemanfaatan yang selama ini terkesan jalan di tempat bisa diterobos. Pengelolaan model ini cukup menarik karena benefit atas investasi tersebut akan dapat dinikmati oleh masyarakat di mana saja. Hal ini dimingkinkan karena benefit atas investasi tersebut berupa cash yang dapat ditransfer ke beneficiary manapun di seluruh dunia. Sementara investasi atas dana wakaf tersebut dapat dilakukan di mana pun tanpa batas negara, mengingat sifat wakaf tunai yang dapat diinvestasikan di negara manapun.[21] Hal ini diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara si kaya dan si miskin, karena diharapkan terjadi transfer kekayaan (dalam bentuk keuntungan investasi) dari masyarakat kaya kepada masyarakat miskin. Sehingga pada babak berikutnya dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat banyak. Selain itu wakaf model ini dapat memperluas jangkauan pemberi wakaf dan peningkatan produktifitas harta wakaf dengan penjelasan sebagai berikut:[22] a. Wakaf dalam bentuk fixed asset hanya dapat diberikan oleh mereka yang tergolong masyarakat yang mempunyai asset yang berlebih, sehingga kelebihan tersebut dapat diwakafkan. Sedangkan untuk masyarakat yang tidak mempunyai asset berlebih, tentunya akan menghadapi kendala untuk melakukan wakaf dalam bentuk fixed asset. Masyarakat tersebut dapat memberikan wakaf dalam bentuk uang tunai, dimana uang tersebut dapat dikumpulkan terlebih dahulu oleh seorang pengelola untuk kemudian diinvestasikan, dan benefit atas investasi tersebut dapat didistribusikan kepada beneficiary. b. Wakaf tunai dapat dipergunakan untuk memproduktifkan asset-asset wakaf yang sekarang tersebar di banyak negeri kaum muslimin. Dengan demikian, wakaf tunai dapat digunakan sebagai sarana untuk memotivasi dana masyarakat dengan jangkauan lapisan masyarakat yang lebih luas ke dalam bentuk modal investasi produktif, dan dapat dipergunakan untuk memproduktifkan asset wakaf yang sudah ada. Merupakan hal sangat penting untuk memberdayakan wakaf, baik wakaf benda bergerak maupun benda tidak bergerak agar dapat meningkatkan kesejahteraan umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta meningkatkan perkembangan Islam di Indonesia. Pengelolaan wakaf benda bergearak dikembangkan melalui lembaga-lembaga perbankan atau badan usaha dalam bentuk investasi yang hasilnya dipergunakan untuk keperluan social, seperti untuk meningkatkan pendidikan Islam, pengembangan rumah sakit Islam, bantuan pemberdayaan ekonomi umat, bantuan penelitian, bantuan pendidikan dan bantuan atau pengembangan sarana dan prasarana ibadah. Sedangkan wakaf benda tidak bergerak yang sudah ada di kalangan masyarakat perlu diamankan, dan dalam hal benda wakaf yang mempunyai nilai produktif perlu didorong untuk dilakukan pengelolaan yang bersifat produktif. Hal ini tentunya harus didukung dengan sosialisasi yang efektif kepada para nâzir agar dapat mengelola wakaf dengan optimal. DAFTAR PUSTAKA Ali, Muhamad Daud. 1988. Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf. Jakarta: UI Press. Antonio, Muhammad Syafi'i. 2002. Bank Syar`iah sebagai Pengelola Wakaf (Kumpulan Makalah Hasil Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, yang diselenggarakan oleh The International Institute of Islamic Tought (IIIT),. Batam, 7-8 Januari 2002. Djunaedi, Ahmad dkk. 2003. Fiqh Wakaf. Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji. ----------------------. 2004. Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai ((Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. ----------------------. 2003. Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf. Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. ----------------------. 2004. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji.. Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Penerbit Gramedia. Ibrahim, M. Anwar.2002 Wakaf dalam Syariat Islam, (Kumpulan Makalah Hasil Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, yang diselenggarakan oleh The International Institute of Islamic Tought (IIIT),. Batam, 7-8 Januari 2002. Munawir, Ahmad Warson. 1984. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Pondok Pesantren Al-Munawir. Suyatno, Thomas dkk. 2005. Kelembagaan Perbankan. Jakarta: PT. SUN. Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tentang Wakaf Uang tanggal 11 Mei 2002 M/ 28 Shafar 1423 H Praja, Juhaya S. 1993. Perwakafan di IndonesiaSejarah, Pemikiran Hukum, dan Perkembangannya. Bandung: Yayasan Piara. -----------------------. Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku III Hukum Perwakafan. ----------------------. Undang-undang Wakaf No. 41 tahun 2004.. HUKUM WAKAF DI INDONESIA (Perkembangan Peraturan Wakaf Sebelum UU No. 41 Tahun 2004) اعوذ بالله من الشيطان الرجيم* بسم الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين * حمدا يوافى نعمه ويكافى مزيده يا ربنالك الحمد كماينبغي لجلال وجهك الكريم وعظيم سلطانك اللهم صل على سيدنا وحبيبناوشفيعنا ومولانامحمد وسلم ورضي الله تبارك وتعالى * عن كل صحابة رسول الله اجمعين ( امــــــــين) Ya Allah Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang Limpahkanlah kasih sayang-Mu kepada kami Bimbinglah kami Sehingga, kami senantiasa dapat berbahakti kepada-Mu Menelusuri jalan lurus-Mu Ya Allah Tuhan Yang Maha Pengampun Kami sadar sepenuhnya, Hidup kami bergelimang noda dan dosa Dosa kami tak terhitung banyaknya Oleh karena itu, kami memohon Ampunilah sebesar dan seberat apapun dosa-dosa kami Tutupilah sejelek apapun aib kami Ampuni dosa kedua orang tua kami Dan kasihanilah mereka sebagaimana mereka mengasihaniku semenjak kecil Dan ampunilah dosa guru-guru kami Dosa para pemimpin kami, Dosa para pahlawan kami Yang telah gugur di medan tempur, Berjuang di medan laga Demi kejayaan bangsa, Negara, dan agama Ya Allah Tuhan Yang Maha Perkasa Kami adalah makhluk-Mu yang lemah tak berdaya Berilah kami kekuatan, Berilah kami kesabaran dan ketabahan Untuk memberikan yang terbaik dalam hidup kami Agar kami dapat menjadi manusia yang berguna Bagi negara, bangsa, dan agama Ya Allah Tuhan Yang Maha Bijaksana Jadikanlah kehidupan yang kami alami Di hari esok yang lebih elok, Di hari lusa yang lebih bahagia Dan di hari mendatang yang lebih cemerlang Yaa Rab, kabulkanlah do'a kami ini ربنااتنافى الدنياحسنة وفى الاخرة حسنة وقنا عذاب النار والحمد لله رب العالمين [1] Ahmad Djunaedi dkk., Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf (Jakarta: Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2003), hlm. 5. [2] Ahmad Djunaedi dkk., Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2004), hlm. 87. [3] Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Pondok Pesantren Al-Munawir, 1984), hlm. 1683. [4] Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia Sejarah, Pemikiran Hukum, dan Perkembangannya (Bandung: Yayasan Piara, 1993), hlm. 6. [5] Muhamad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf (Jakarta: UI Press, 1988), cet. 1, hlm. 84. [6] Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku III Hukum Perwakapan. [7] Lihat Undang-undang Wakaf No. 41 tahun 2004 pasal 1. [8] M. Anwar Ibrahim, Wakaf dalam Syariat Islam, Kumpulan Makalah Hasil Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hlm. 4. Tidak diterbitkan [9] Lihat Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002 M/ 28 Shafar 1423 H. [10] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Penerbit Gramedia, 1996), cet. Ke-22, hlm. 175. [11] Thomas Suyatno dkk., Kelembagaan Perbankan (Jakarta: PT. SUN, 2005), cet. Ke-13, hlm. 39. [12] Lihat Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tentang Wakaf Uang tanggal 11 Mei 2002 M/ 28 Shafar 1423 H [13] Ahmad Djunaedi dkk., Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai ((Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. 2004), hlm. 32. [14] Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syar`iah sebagai Pengelola Wakaf (Kumpulan Makalah Hasil Workshop Internasional Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Pengelolaan Wakaf Produktif, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hlm. 4. Tidak diterbitkan. [15] Djunaedi dkk., Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, hlm. 56. [16] Ibid., hlm. 58 [17] Ibid., hlm. 71-72. [18] Ahmad Djunaedi dkk., Fiqh Wakaf (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), hlm. 92. [19] Djunaedi dkk., Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, hlm. 87-88.. [20] Ibid., hlm, 95. [21] Djunaedi, Pedoman Pengelolaan & Pengembangan Wakaf , hlm. 108. [22] Ibid., hlm. 109.

AL-UMǙR BIMAQÂŞIDIHÂ

(الأمـوربمقاصـدها) "SEGALA PERKARA TERGANTUNG KEPADA NIATNYA" Oleh: khoirul amin A. Pendahuluan Manusia diciptakan Allah dengan mengemban tugas sebagai ḣalifah sekaligus hamba Allah yang harus mengabdikan diri ('ibâdah) kepada-Nya. Hal ini tercermin pada Firman Allah dalam Quran surat al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi: "Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak Kamu ketahui."[1] 'Ibâdah sebagai tugas manusia dijelaskan dalam firman-Nya dalam Quran surat al-Żâriyât ayat 56: "Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku".[2] Suatu aktivitas muslim dapat dikategorikan ibadah jika dilandasi dengan niat yang iḣlâş, semata-mata karena Allah. Hal ini ditegaskan Allah dalam Quran surat al-Bayyinah ayat 5: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus".[3] B. Pengertian Niat Niat di kalangan ulama-ulama Syafi'iyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya قصـد الشئ مقترنا بـفعله)).[4] Sebagai contoh, di dalam shalat, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbîrat al-iḣrân القصد بالقلب ويجب أن تكون النية مقارنة للتكبير)).[5 Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan atau yang dibolehkan oleh agama, ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebisaaannya saja. Dari penjelasan tentang niat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa fungsi niat itu adalah: (1) untuk membedakan antara 'ibâdah dan adat kebiasaan, (2) untuk membedakan kualitas perbuatan, baik kebaikan ataupun kejahatan, dan (3) untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.[6] C. Dasar Hukum Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ Kaidah ini dilegimitasi oleh firman Allah dalam Quran, di antaranya: 1. Quran surat al-Bayyinah ayat 5: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus".[7] 2. QS. al-Aḣzâb ayat 5: "Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[8] 3. QS. al-Baqarah ayat 225: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun"[9] 4. QS. Ali 'Imrân ayat 145: "Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat itu. dan kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.[10] Adapun dalam hadits Nabi, antara lain: انماالأعمال بالنيات وانمالكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى الله ورسوله فهجرته الى الله ورسولهومن كانت هجرته للدنيايصيبهاال امرأة ينكحها فهجرته الى ما هجر اليه[11] "Setiap perbuatan itu bergantung kepada niat-niatnya dan bagi setiap orang sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya dan barangsiapa hijrahnya karena mengharapkan kepentingan dunia, maka ia akan mendapatkannya danbarangsiapa berhijrah karena wanita, maka ia akan menikahinya, maka hijrahnya kepada yang diniatkannya (HR. Bukhari Muslim dari 'Umar Ibn al-Ήaṭṭâb). انك لو تنفق نفقة تبتغي بها وجه الله الا أجرت عليهاحتى ماتجعل فى فم امرأتك[12] "Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah kecuali diberi pahala walaupun sekedar sesuap ke dalam mulut istrimu" (HR. Bukhari). من قتل لتكون كلمة الله هي العليا فهو فى سبيل الله عزوجل[13] "Barangsiapa berperang dengan maksud meninggikan kalimah Allah, maka dia ada di jalan Allah" (HR. Bukhari dari Abu Musa). من أتى فراشه وهو ينوي أن يقوم يصلي من الليل فغلبته عيناه حتى أصبح كتب له مانوى[14] "Barangsiapa yang tidur dan ia berniat akan shalat malam, kemudian dia ketiduran sampai subuh, maka ditulis baginya pahala sesuai dengan niatnya" (HR. al-Nasâi dari Abu Zâr). نية المؤمن خيـرمن عمله[15] "Niat seorang mukmin lebih baik daripada amalnya" (HR. Tabrani dari Sahal bin Sa'id al-Sa'îdî). D. Cabang-cabang Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ 1. العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني (pengertian yang diambil dari sesuatu tujuannya bukan semata-mata kata-kata dan ungkapannya).[16] Sebagai contoh, apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya. 2. Di kalangan mazhab Hanafi terdapat kaidah لاثواب الابالنية (tidak ada pahala kecuali dengan niat). Kaidah ini dimasukkan ke dalam al-qawâ'id al-kuliyyah yang pertama sebelum al-umûr bimaqâsidihâ.[17] Sedangkan di kalangan maźhab Maliki, kaidah tersebut menjadi cabang dari kaidah al-umûr bimaqâsidihâ, seperti diungkapkan oleh Qâdi 'Abd. Wahab al-Bagdadi al-Maliki yang dikutip oleh Djazuli.[18] Pendapat maźhab Maliki ini lebih bisa diterima, karena kaidah di atas asalnya لاثواب ولاعقـاب الابالنية (tidak ada pahala dan tidak ada siksa kecuali karena niatnya). 3. لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب (apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati).[19] Sebagai contoh, apabila hati niat wudû, sedang yang diucapkan adalah mendinginkan anggota badan, maka wudûnya tetap sah. 4. لايلزم نية العبادة فى كل جزءانماتلزم فى جملة مايفعله (tidak wajib niat ibâdah dalam setiap bagian, tapi wajib niat dalam keseluruhan yang dikerjakan). Contoh: untuk shalat cukup niat shalat, tidak berniat setiap perubahan rukunnya.[20] 5. كل مفرضين فلاتجزيهنانية واحدة الا الحج والعمرة (setiap dua kewajiban tidak boleh dengan satu niat, kecuali ibadah haji dan 'umrah). Secara prinsip, setiap dua kewajiban ibâdah atau lebih, masing-masing harus dilakukan dengan niat tersendiri.[21] 6. كــل ماكان له أصل فلاينتقل عن أصله بمجرد النية (setiap perbuatan asal atau pokok, maka tidak bisa bepindah dari yang asal karena semata-mata niat). Contoh: seseorang niat shalat zuhur, kemudian setelah satu raka'at, dia berpindah kepada shalat tahiyyat al-masjid, maka batal shalat zuhurnya. Kasus ini berbeda dengan orang yang sejak terbit fajar belum makan dan minum, kemudian tengah hari berniat saum sunnah, maka sah saumnya, karena sejak terbit fajar belum makan apa-apa.[22] 7. مقاصد اللفظ على نية اللافظ الا فى موضع واحد وهواليمين عند القاضى فانهاعلى نية القاضى "Maksud dari lafaz adalah menurut niat orang yang mengucapkannya, kecuali dalam satu tempat, yaitu dalam sumpah di hadapan qâdi. Dalam keadaan demikian maka maksud lafaz adalah menurut niat qâdi".[23] Berdasarkan kaidah ini, maksud kata-kata seperti talak, hibah, naźar, shalat, sedekah, dan seterusnya harus dikembalikan kepada niat orang yang mengucapkan kata tersebut, apa yang dimaksud olehnya, apakah sedekah itu maksudnya zakat, atau sedekah sunnah. Apakah shalat itu maksudnya shalat fardhu atau shalat sunnah. 8. الأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد (sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud)[24]. Khusus untuk sumpah ada kata-kata khusus yang digunakan, yaitu "wallâhi" atau "demi Allah saya bersumpah" dan seterusnya. Dalam hukum Islam, antara niat, cara, dan tujuan harus ada dalam garis lurus, artinya niatnya harus iḣlâş, caranya harus benar dan baik, dan tujuannya harus mulia untuk mencapai keridhaan Allah SWT. 9. النية فى اليمين تخصص اللفظ العام ولا تعمم الخاص (niat dalam sumpah mengkhususkan lafaz 'âm, tidak menjadikan 'âm lafaz yang ḣâs). Contoh: orang bersumpah tidak akan berbicara dengan orang, tetapi yang dimaksud adalah orang tertentu, yaitu Ahmad, maka sumpahnya hanya berlaku pada Ahmad.[25] 10. مالايشترط التعرض له جملة وتفصيلااذاعينه وأخطأ لم يضر (Sesuatu amal yang dalam pelaksanaannya tidak disyaratkan untuk dijelaskan/dipastikan niatnya, baik secara garis besar ataupun secara terperinci, kemudian ditentukan dan ternyata salah, maka kesalahan ini tidak membahayakan (sahnya amal). Contoh: orang yang dalam niat shalatnya menegaskan tentang tempatnya shalat, yaitu masjid atau di rumah, harinya shalat rabu atau kamis, imamnya dalam satu shalat jama'ah Umar atau Ahmad, kemudian apa yang ditentukan itu keliru maka shalatnya tetap sah, karena shalat telah terlaksana dengan sempurna, sedangkan kekeliruan hanya pada hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan shalat.[26] 11. ومايشترط فيه التعرض فالخطأ فيه مبطل (pada suatu amal yang dalam pelaksanaannya di syaratkan kepastian/kejelasan niatnya, maka kesalahan dalam memastikannya akan membatalkan amal).[27] 12. ومايجب التعرض له جملة ولا يشترط تعيينه تفصيلااذاعينه وأخطأ ضر "Sesuatu amal yang diatnya harus dipastikan secara garis besar, tidak secara terperinci, kemudian dipastikan secara terperinci dan ternyata salah, maka membahayakan sahnya amal".[28] Contoh shalat berjama'ah dengan niat makmum pada Umar, kemudian ternyata yang menjadi imam adalah Ali, maka tidak sah makmumnya. E. Aplikasi Kaidah al-Umûr Bimaqâşidihâ dan Pengecualiannya Para fuqâha (ahli hukum Islam) memerinci masalah niat ini, baik dalam bidang ibadah mahzah, seperti ţahârah (bersuci), wudû, tayammum, mandi junub, shalat, qaşar, jama', wajib, sunnah, zakat, haji, saum, ataupun di dalam mu'âmalah dalam arti luas atau ibadah gair mahzah, seperti pernikahan, talak, wakaf, jual beli, hibah, wasiat, sewa menyewa, perwakilan, utang piutang, dan akad-akad lainnya. Dalam fiqih jinâyah seperti kesengajaan, kondisi dipaksa atau terpaksa dan lain sebagainya, sehingga Imam al-Suyûti mengatakan: "Apabila Kau hitung masalah-masalah fiqih yang berhubungan dengan niat ini tidak kurang dari sepertiga atau seperempatnya".[29] Jalaluddin al-Suyûti sebagaimana dikutip oleh Jaih Mubarak mengisyaratkan bahwa urgensi niat dalam bab-bab fiqih adalah dapat menentukan status hukum suatu perbuatan sehingga dapat dibedakan antara perbuatan yang satu dengan perbuatan lainnya walaupun secara lahir tampak sama. Niat menjadi penentu apakah shalat yang dilakukan itu wajib atau sunnah, zuhur atau asar, dan seterusnya. Niat juga menjadi penentu apakah pemberian seseorang itu hibah, sadaqah, pinjaman, atau zakat. Demikian pula dalam permasalahan qişaş, niat dapat menentukan macam-macam pembunuhan yang dilakukan seseorang, apakah sengaja, semi sengaja, atau kekeliruan. Bahkan niat pula dapat menjadikan perbuatan-perbuatan mubâh menjadi bernilai 'ibâdah (berpahala) jika perbuatan itu dilakukan dalam kerangka mendekatkan diri kepada Allah.[30] Rupanya yang paling penting dalam masalah niat ini bukan soal kuantitas masalah fiqih yang ribuan atau bahkan puluhan ribu yang tersebar di dalam kitab-kitab fiqih, akan tetapi kualitas kaidah ini memang mendasar dan tidak banyak masalah-masalah fiqih yang di luar kaidah tersebut. Di antara kekecualian kaidah di atas, antara lain: 1. Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah, bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, ma'rifat, ḣauf, raja', iqâmah, aźân, źikir, dan membaca Quran kecuali apabila membacanya dalam rangka naźar; 2. Tidak diperlukan niat di dalam meninggalkan perbuatan, seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (harâm) karena dengan tidak melakukan tersebut, maksudnya sudah tercapai; 3. Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan, bukan untuk meninggalkan suatu perbuatan.[31] E. Kesimpulan 1. Niat sangat penting dalam menentukan kualitas ataupun makna perbuatan seseorang, apakah seseorang melakukan suatu perbuatan itu dengan niat ibadah kepada Allah dengan melakukan perbuatan yang diperintahkan atau yang disunnahkan atau yang dibolehkan oleh agama, ataukah dia melakukan perbuatan tersebut bukan dengan niat ibadah kepada Allah, tetapi semata-mata karena kebisaaannya saja. 2. Dalam masalah niat ini bukan soal kuantitas masalah fiqih yang ribuan atau bahkan puluhan ribu yang tersebar di dalam kitab-kitab fiqih, akan tetapi kualitas kaidah ini memang mendasar dan tidak banyak masalah-masalah fiqih yang di luar kaidah tersebut. DAFTAR PUSTAKA Al-Sirâzi, Abu Ishak. t.t. al-Muhazzab. Dâr-al-Fikr. Al-Suyûti, Jalâludîn Abd al-Rahmân. 1399. al-Asbâh wa al-Nazâir fi Qawâ'id wa Furû' Fiqh al-Safi'î. Beirut: Dâr al-Kutub al-'Ilmiyah. Djazuli, A. 2006. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana. Ibn Isma'il al-Buhari, Abi Abdillah Muhammad. t.t. al-Buhâri. Jakarta: Sirkah Nur Asia. Ibn Nuzaim al-Hanafi, Zayn al-'Âbidîn Ibn Ibrahîm. 1983. al-Asbâh wa al-Nazâir. Damaskus: Dâr el-Fikr. Mubarak, Jaih dan Enceng Arif Faizal. 2004. Kaidah Fiqh Jinayah. Bandung: Pustaka Bani Quraisy. Mudjib, Abdul. 2005. Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih : al-Qawâ'idul Fiqhiyyah. Jakarta: Kalam Mulia. Soenardjo dkk. 1971. Al-Qur`an dan Terjemahnya. Madinah: Mujamma al-Malik Fahd. [1] Soenardjo dkk., Al-Qur`an dan Terjemahnya (Madinah: Mujamma al-Malik Fahd. 1971), hlm. 13. [2] Ibid hlm. 862. [3] Ibid, hlm. 1084. [4] H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana. 2006), cet. ke-1, hlm.34. [5] Abu Ishak al-Sirâzi, al-Muhazzab (Dâr-al-Fikr. t.t), juz ke-1, hlm. 70. [6] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 35-36. [7] Ibid, hlm. 1084. [8] Ibid, hlm. 667 [9] Ibid, hlm. 54 [10] Ibid, hlm. 100 [11] Abi Abdillah Muhammad Ibn Isma'il al-Buhâri, al-Buhâri (Jakarta: Sirkah Nur Asia. t.t), juz ke-1, hlm. 6. [12] Ibid, juz ke-3, hlm. 286. 11 Ibid, juz ke-2, hlm. 139. 12 Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 38 13 Ibid, hlm. 39 [14] Ibid [15] Ibid [16] Ibid. [17] Zayn al-'Âbidin Ibn Ibrahîm Ibnu Nuzaim al-Hanafi, al-Aśbâh wa al-Nazâir (Damaskus: Dâr el-Fikr. 1983), cet. ke-1, hlm. 13 [18] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 39. [19] Ibid, hlm. 40. [20] Ibid. [21] Ibid. [22] Ibid, hlm. 41. [23] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih :al-Qawâ'idul Fiqhiyyah (Jakarta: Kalam Mulia. 2005), cet. ke-6, hlm.17 [24] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 41. [25] Mudjib, Kaidah-kaidah, hlm. 17 [26] Ibid, hlm. 15. [27] Ibid. [28] Ibid, hlm.16 [29] Jalaludin Abd al-Rahman al-Suyuti, al-Asbah wa al-Nazair fi Qawa'id wa Furu' Fiqh al-Safi'i (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah. 1399), cet. ke-1, hlm. 13. [30] Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004), cet. ke-1, hlm. 5-6. [31] Djazuli, Kaidah-kaidah, hlm. 36-37.

KEWAJIBAN LANCAR DAN BERSYARAT

Fianancial Acccountig Standard Boards (FASB) mendefinisikam kewajiban (liabilities) sebagai kemungkinan pengorbanan manfaat ekonomis yang ditimbulkan oleh kewajiban-kewajiban suatu perusahaan pada saat ini untuk mengalihkan aktiva atau memberikan jasa kepada pihak lain pada masa yang kan datang sebagai akibat dari transaksi atau kejadian pada masa yang lalu. Berdasarkan pengertian d yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kewajiban adalah : 1. Merupakan suatu akibat dari transaksi atau kejadian dimasa yang lalu, jadi tidak boleh merupakan kewajiban yang transaksi atau kejadiannya belum direalisasi. 2. Merupakan penggunaan pengalihan aktiva atau pembelian jasa pada masa yang akan datang. 3. Merupakan kewajjiban suatu perusahaan. FASB menentukan bahwa pengelompokan kewajiban-kewajiban tidak lancar tepat apabila keadaan-keadaan di bawah ini terpenuhi, antara lain sebagai berikut : #. Pembayaran kembali sudah arus terjadi pada masa diantar tanggal laporan keuangan dan tanggal pnerbitan laporan keuangan. #. Suatu perjanjian yang sudah pasti mengenai pembiayaan kembali sudah harus tercapai sebelum penerbitan laporan keuangan. Pengakuan Kewajiban Sebelum kewajiban-kewajiban disajikan dalam laporan keuangan, maka kewajiban harus diukur dalam nilai uang dan dilaporkan dalam suatu jumlah seolah-olah kewajiban ini akan dilunasi pada hari ini. Jadi kewajiban harus dilaporkan berdasarkan jumlah yang didiskonkan atau nilai tunainya. Jadi perbedaan utamanya dengan aktiva adalah penilaian aktiva untuk penentuan nilai bersih yang dapat direalisasi, sedangkan pada kewajiban masalahnya adalah pengukuran untuk penentuan nilai tunai yang didiskontokan. Pengelompokan Kewajiban Berdasarkan kejadian serta jumlahnya, maka secara garis besar kewajiban dapat dikelompokkan sebagai berikut : 1. Kewajiban yang sudah pasti kejadiannya a) Kewajiban yang sudah pasti jumlahnya. b) Kewajiban yang tidak pasti kewajibannya. 2. Kewajiban yang belum pasti jumlahnya dan kejadiannya.  Kewajiban yang sudah pasti kejadian dan jumlahnya seringkali dijumpai pada neraca. Kewajiban ini meliputi :  Hutang dagang  Hutang wesel jangka pendek  Hutang jangka panjang jatuh tempo  Hutang deviden  Berbagai beban operasi yang masih harus dibayar Contoh : suatu perusahaaan akan memberikan bonus kepad manejer penjualan sebesar 10% dari laba. Laba perusahaan sebesar 100 juta dan tarif pajak penghasilan 40%. Jika bonus di hitung berdasarkan 4 cara sebagai berikut : a. Bonus dihitung berdasarkan laba sebelum dikurangi bonus dan pajak penghasilan. B = 0,1 x Rp 100.000.000 B = Rp 10.000 b. Bonus dihitung berdasarkan laba setelah dikurangi bonus dan belum dikurangi pajak penghasilan. B = 0,1 ( Rp 100.000.000 – B ) B = Rp 10.000.000 – 0,1 B 1,1 B = Rp 90.000.000 B = Rp 9.091.000 Penghitungan bonus dapat diperiksa dengan cara sebagai berikut : Laba sebelum bonus dan pajak penghasilan 100.000.000 Dikurangi bonus 9.091.000 Laba setelah dikurangi bonus 90.909.000 Tarif bonus 10% Bonus 9.091.000  Pajak-pajak yang dipungut  Pajak pertmabahan nilai  Pajak penghasilan  Pendapatan diterima dimuka • Kewajiban yang pasti kejadiannya namun jumlah belum pasti Jumlah kewajiban biyasanya ditentukan berdasarkan :  Kontrak atau diantisipasi berdasrkan suatu penghitungan tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan. Antara lain kewajiban yang ditaksir :  Uang jaminan yang dapat dikembalikan  Uang jaminan  Jaminan garansi dan penggantian  Premi pelanggan • Kewajiban yang belum pasti kejadian dan jumlahnya Kewajiban yang belum pasti kejadiannya dan jumlahnya disebut sebagai kewajiban bersyarat antra lain :  Tuntutan pengadilan Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan terhadap tindakan akuntansi, tuntutan pengadilan seperti ini antara lain ssebagai berikut : Sifat dari tuntutan Periode apabila sebab kejadian terjadi Perkembangan proses pengadilan termasuk perkembangan antara tanggal laporan keuangan dan tanggal penerbitannya Pandangan para pengacara terhadap kemungkinan jumlah kerugian Tanggapan menejemen terhadap tuntutan tersebut  Asuransi sendiri  Jaminan pinjaman  Future commitment.

ISTILAH POPULER PERBANKAN SYARIAH

AKAD Ikatan atau kesepakatan antara nasabah dengan bank yakni pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan, misalnya akad pembukaan rekening simpanan atau akad pembiayaan. PRINSIP SYARIAH Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan nasabah untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. DISTRIBUSI BAGI HASIL Pembagian keuntungan bank syariah kepada nasabah simpanan berdasarkan nisbah yang disepakati setiap bulannya. Bagi hasil yang diperoleh tergantung jumlah dan jangka waktu simpanan serta pendapatan bank pada periode tersebut. Besarnya bagi hasil dihitung berdasarkan pendapatan bank (revenue) sehingga nasabah pasti memperoleh bagi hasil dan tidak kehilangan pokok simpanannya. DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS) Dewan yang bertugas memantau kepatuhan penerapan prinsip syariah pada operasional perbankan syariah. DPS terdiri dari alim ulama yang ditunjuk Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia, dan atas persetujuan Bank Indonesia. MARGIN Besarnya keuntungan yang disepakati antara bank dan nasabah atas transaksi pembiayaan dengan akad jual beli (murabahah). Margin pembiayaan bersifat tetap (fixed) tidak berubah sepanjang jangka waktu pembiayaan. NISBAH Porsi bagi hasil antara nasabah dan bank atas transaksi pendanaan dan pembiayaan dengan akad bagi hasil (mudharabah dan musyarakah). BAI’ ALMUTHLAQ Jual beli biasa, yaitu pertukaran barang dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Bai’ al Muthlaq dilakukan untuk pelaksanaan jual beli barang keperluan kantor (fixed assets). Jual beli seperti ini menjiwai semua produk yang didasarkan pada transaksi jual beli. MUQAYYAD Jual beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Jual beli semacam ini dilakukan sebagai jalan keluar bagi ekspor yang tidak bisa menghasilkan mata uang asing (valas). SHARF Jual beli mata uang asing yang saling berbeda, seperti Rupiah dengan Dolar, Dolar dengan Yen; Sharf dilakukan dalam bentuk Bank Notes dan transfer, dengan menggunakan nilai kurs yang berlaku pada saat transaksi. MURABAHAH Akad jual beli dimana harga dan keuntungan disepakati antara penjual dan pembeli. Jenis dan Jumlah barang dijelaskan dengan rinci. Barang diserahkan setelah akad jual beli dan pembayaran bisa dilakukan secara mengangsur/cicilan atau sekaligus. SALAM Jual beli dengan cara pemesanan, di mana pembeli memberikan uang terlebih dahulu terhadap barang yang telah disebutkan spesifikasinya, dan barang dikirim kemudian, Salam biasanya dipergunakan untuk produk-produk pertanian jangka pendek. Dalam hal ini lembaga keuangan bertindak sebagai pembeli produk dan memberikan uangnya lebih dulu sedangkan para nasabah menggunakannya sebagai modal untuk mengelola pertaniannya. ISTISHNA’ Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang berdasarkan persyaratan serta kriteria tertentu, sedangkan pola pembayaran dapat dilakukan sesuai dengan kesepakatan (dapat dilakukan di depan atau pada saat pengiriman barang). MUDHARABAH Akad yang dilakukan antara pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib) dimana nisbah bagi hasil disepakati di awal, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. MUDHARABAH MUQAYYADAH Akad yang dilakukan antara pemilik modal untuk usaha yang ditentukan oleh pemilik modal (shahibul mal) dengan pengelola (mudharib), dimana nisbah bagi hasil disepakati di awal untuk dibagi bersama, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Dalam terminologi perbankan syariah ini lazim disebut Special Investment. MUSYARAKAH Akad antara dua pemilik modal atau lebih untuk menyatukan modalnya pada usaha tertentu, sedangkan pelaksananya bisa ditunjuk salah satu dari mereka. Akad ini diterapkan pada usaha/proyek yang sebagiannya dibiayai oleh lembaga keuangan sedangkan selebihnya dibiayai oleh nasabah. MUSYARAKAH MUTANAQISAH Akad antara dua pihak atau lebih yang berserikat atau berkongsi terhadap suatu barang dimana salah satu pihak kemudian membeli bagian pihak lainnya secara bertahap. Akad ini diterapkan pada pembiayaan proyek yang dibiayai oleh lembaga keuangan dengan nasabah atau lembaga keuangan lainnya dimana bagian lembaga keuangan secara bertahap dibeli oleh pihak lainnya dengan cara mencicil. Akad ini juga terjadi pada mudharabah yang modal pokoknya dicicil, sedangkan usaha itu berjalan terus dengan modal yang tetap. WADI’AH Akad yang terjadi antara dua pihak, dimana pihak pertama menitipkan suatu barang kepada pihak kedua. Lembaga keuangan menerapkan akad ini pada rekening giro. WAKALAH Akad perwakilan antara satu pihak kepada yang lain. Wakalah biasanya diterapkan untuk pembuatan Letter of Credit, atas pembelian barang di luar negeri (L/C Import) atau penerusan permintaan. IJARAH Akad sewa menyewa barang antara kedua belah pihak, untuk memperoleh manfaat atas barang yang disewa. Akad sewa yang terjadi antara lembaga keuangan (pemilik barang) dengan nasabah (penyewa) dengan cicilan sewa yang sudah termasuk cicilan pokok harga barang sehingga pada akhir masa perjanjian penyewa dapat membeli barang tersebut dengan sisa harga yang kecil atau diberikan saja oleh bank. Karena itu biasanya Ijarah ini dinamai dengan al Ijarah waliqtina’ atau al Ijarah alMuntahia Bittamliik. KAFALAH Akad jaminan satu pihak kepada pihak lain. Dalam lembaga keuangan biasanya digunakan untuk membuat garansi atas suatu proyek (performance bond), partisipasi dalam tender (tender bond) atau pembayaran lebih dulu (advance payment bond). HAWALAH Akad pemindahan utang/piutang suatu pihak kepada pihak yang lain. Dalam lembaga keuangan hawalah diterapkan pada fasilitas tambahan kepada nasabah pembiayaan yang ingin menjual produknya kepada pembeli dengan jaminan pembayaran dari pembeli tersebut dalam bentuk giro mundur. Ini lazim disebut Post Dated Check. Namun disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariah. RAHN Akad menggadaikan barang dari satu pihak kepada pihak yang lain, dengan uang sebagai gantinya. Akad ini digunakan sebagai akad tambahan pada pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan. Lembaga keuangan tidak menarik manfaat apapun kecuali biaya pemeliharaan atau keamanan barang tersebut. QARD Pembiayaan kepada nasabah untuk dana talangan segera dalam jangka waktu yang relatif pendek, dan dana tersebut akan dikembalikan secepatnya sejumlah uang yang digunakannya. Dalam transaksi ini, nasabah hanya mengembalikan pokok. Tabarru’: Akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial.

RINGKASAN BUKU FILSAFAT ISLAM

RINGKASAN BUKU SEJARAH FILSAFAT ISLAM Oleh : khoirul amin Pengertian Filsafat Islam. Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Sedangkan menurut Ahmad Fu¡¦ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disanari ajaran Islam. Sejarah singkat timbulnya Filsafat Islam. Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al ¡Vrasyid, dimulailah penterjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat. Penterjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca alim ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filofof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam. Filsafat Islam dengan Ilmu Tasawuf Tasawuf sebagai suatu ilmu yang mempelajari cara dan bagaimana seorang muslim berada dekat, sedekat mungkin dengan Allah. Tasawuf terbagi dua, yaitu Tasawuf Amali dan Tasawuf Falsafi. Dari pengelompokan tersebut tergambar adanya unsur-unsur kefilsafatan dalam ajaran tasawuf, seperti penggunaan logika dalam menjelaskan maqamat (al-fana, al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al- wujud). Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam (Teologi) Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran anatara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembmahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli yang tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam. Filsafat Islam dengan Ilmu Fiqh Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur¡¦an yang berkenaan dengan hokum diperlukan ijtihad, yaitu suatu usaha dengan mempergunakan akal dan prinsip kelogisan untuk mengeluarkan ketentuan-ketentuan hukum dari sumbernya. Syaikh Mustafa ¡¥Abdurrazaq dalam bukunya yang berjudul Tauhid Li Tarikhul Falsafatil Islamiyah (pengantar sejarah Islam) menyatakan, bahwa Ilmu Ushul Fiqh sepenuhnya diciptakan dan diletakkan dasar-dasar oleh Asy-Syafi¡¦ie, tentu akan melihat dengan jelas adanya berbagai gejala pemikiran filsafat. 1. Filsafat Al Kindi Al Kindi berusaha memadukan anatara filsafat dan agama. Filsafat berdasarkan akal pikiran adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth), al Qur¡¦an yang membawa argument-argumen yang lebih meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan filsafat. Karena itu mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang, bahkan berteologi adalah bagian dari filsafat, sedangkan Islam mewajibkan mempelajari Teologi Bertemunya filsafat dan agama dalam kebenaran deamn kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu mempergunakan akal dan filsafat juga mempergunakan akal. Yang benar pertama (the first Truth) bagi Al kindi ialah Tuhan. Keselarasan antara filsafat dan agama didasarkan pada tiga hal yaitu : 1. Ilmu agama merupakan bagaian dari filsafat 2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan filsafat, saling berkesuaian 3. Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama Filsafat Metafisika Tuhan dalam filsafat al kindi tidak mempunyai hakiakat dalam arti aniah atau mahaniah. Tidak aniah karena kerena Tuhan tidak termasuk dealam benda-benda yang ada dalam alam, bahkan Ia adalah pencipta alam. Ia tidak tersususn dari materi dan bentuk, juga tidak mempunya hakiakat dalam bentuk mahaniah, karena Tuhan bukan merupakan gensus dan species. Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Tuhan adalah unik, Ia semata-mata satu. Hanya Ia lah yang satu dari pada-Nya mengandung arti banyak Filsafat Jiwa Menurut Al Kindi, roh itu tidak tersususn, mempunyai arti penting, sempurna dan mulia. Substansi roh berasal dari substansi Tuhan. Hubungan roh dengan Tuhan sama dengan hubungan cahaya dengan matahari. Selain itu jiwa bersifat spiritual, Ilahiah, terpisah sdan berbeda dari tubuh. Roh adalah lain dari badan dan mempunyai wujud sendiri. Keadaan badan (jasmanni) mempunyai hawa nafsu dan sifat pemarah (passion). Roh menentang keinginan hawa nafsu dan passion. 2. Filsafat Al-Farabi Al Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat fal safah al taufiqhiyah atau wahdah ala falsafah yang bebrkembang sebelumnya, terutama pemikiran Plato, Aristoteles, dan Plotinus, juga antara agama dan filsafat. Talfiq Dalam ilmu logika dan fisika Ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masal;ah akhlak dan politik ia dipengaruhi oleh Plato, sedangkan dalam persoalan metafisika ia di pengaruhi oleh Plotinus. Al farabi berpandapat bahwa pada hakikatnya filsafat itu adalah satu kesatuan, oleh karena itu para filosof besar harus menyatujui bahwa satu-satunya tujuan adalah mencari kebenaran. Metafisika Wajib al wujud a dalah tidak boleh tidak ada, ada dengan sendirinya, esensi dan wujudnya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang sempurna selamanya dan tidak didahului oleh tiada.jika wujud ini tidak ada, maka timbul kemustahilan, karena wujud lain untuk adanya tergantung kepadanya. Inilah yang disebut dengan Tuhan. Sedangkan mumkin al wujud adalah sesuatu yang sama antara berwujud dan tidaknya. Mumkin al wujud tidak akan berubah menjadi actual tanpa adanya wuijud yang menguatkan, dan dan yang menguatkan itu bukan dirinya tetapi wajib al wujud. Jiwa Pendapat al Farabi tentang jiwa dip[engaruhi oleh filsafat Plato, Aristoteles, dan Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan jiwa, tidak berpindah-pindah dari sutau badan ke badan yang lainnya. Jiwa manusia disebut al nafs al nathiqoh, yang bersal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalaq, berbentuk, berupa, berkadar, dan bergerak. Jiwa dicuiptakan tatkala jasad siap menerimanya. 3. Filsafat Ibn Sina Tentang Wujud Dari Tuhanlah kemajuan yang mesti, mengalir intelegensi pertama sendirian karena hanya dari yang tunggal. Yang mutlak, sesuatu yang dapat mewujud. Tetapi sifat ontelegensi pertama tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan sendirinya, ia hanya mungkin dan kemungkinannnya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, intelgensi pertama memunculkan dua kewujudan yaitu : a. Intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas. b. Lingkungan pertama dan tertingi berdasarkan segi terendah adanya, kemungkinan alamiyah. Dua proses pamancaran inii berjalan terus sampai kita mencapai intelegensi kesepuluh yang mengatur dunia ini, yang oleh kebanyakan filosuf muslim disebut sebagai malaikat Jibril. Emanasi Emanasi Ibn Sina menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet, sembilan akal mengurusi sembilan planet dan akal kesepuluh mengurusi bumi. Berbeda dengan pendahulunya Al Farabi, masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakan planet yang bersifat materi. Akal pertama adalah malaikat tertinggi dan akal ke sepuluh adalah malaikat Jibril yang bertugas mengatur bumi beserta isinya. Jiwa Secara garis besar pembahasan Ibn Sina tentang jiwa terbagi sebagai berikut : a. Jiwa tumbuh-tumbuhan, mempunya tiga daya : makan, tumbuh , dan berkembang biak. b. Jiwa binatang, mempunyai dua daya : gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudriakt). c. Jiwa manusia, mempunyai dua daya : praktis (yang berhubungan dengan badan), teoritis (yang hubungannya dengan hal-hal abstrak) Kenabian Sejalan dengan teori kenabian dan kemukjizatan, Ibn Sina membagi manusia dalam empat kelompok : mereka yang kecakapan teoritisnya sudah mencapai tingkatan penyempurnaan yang sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan lagi guru sebangsa manusia, sedangkan kecakapan praktisnya telah mencapai suatu puncak yang sedemikian rupa sehingga berkat kecakapan imajinatif mereka yang tajam, mereka mengambil bagian secara langsung pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa masa kini dan akan datang dan kemampun menimbulkan gejala-gejala aneh di dunia. Kemudian ia mempunyai daya kekuatan intuitif, tetapi tidak mempunyai daya imajinatif. Lalu orang yang mengungguli sesamanya hanya dengan ketajaman daya praktis mereka. 4. Filsafat Ibn Rusyd Aliran filsafat Ibn Rusyd adalah rasional. Ia menjunjung tinggi akal fikiran dan menghargai peranan akal, karena dengan akal fikiran itulah manusia dapat menafsirkan alam maujud. Akal fikiran bekerja atas dasar pengertian umum (ma¡¦ani kulliyah) yang didalamnya tercakup semua hal ihwal yang bersifat partial (juz¡¦iyah). Ia menjelaskan bahwa kuliyyat adalah gambaran akal, tidak berwujud kenyataan diluar akal. Metafisika Dalam masalah ketuhanan ia berpendapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharik al awal). Sifat positif kepada Allah adalad akal dan ma¡¦qul. Wujud Allah aialah esa-Nya. Wujud dan keesaannya tidak berbeda dari zat-Nya. Sebagai orang berfikir rasional, ibn Rusyd menafsirkan agama pun dengan penafsiran rasional. Namun ia tetap berpegang kepada sumber agama, yakni al Qur¡¦an. Dalam mengenal sang pencipta tidak mungkin berhasil kecuali dengan melakukan pengamatan terhadap wujud yang diciptakan Allah. Kenabian Ibn Rusyd tdak mengatakan bahwa nabi Muhammad saw tidak mengaku dirinya adalah nabi dengan mengemukakan hal-hal yang menyimpang dari hukum alam (mukjizt) sebagai tantang terhadap lawan-lawannya. Maka Al Qur¡¦an merupakan mukjizat terbesar, karena syari¡¦at yang dimuatnya berupa kepercayaan dan amalan yang tidak mungkin bisa dicari dan pelajari kecuali dengan wahyu. Ibn Rusyd mengadakan pemisahan anatara dua macam mukjizat. Pertama, mukjizat Iuaran (al barrani), yaitu yang tidak sesuai dengan sifat yang karenannya seorang nabi . kedua, mukjizat yang sesuai dengan (al-munasib) sifat kenabian tersebut, yaitu syari¡¦at yang yang dibawanya untuk kebahagiaan umat.

PENGANTAR EKONOMI : KEBIJAKAN FISKAL



KATA PENGANTAR

Kami Panjatkan Puji dan Syukur kepada Allah SWT, karena dengan Ridho-Nyalah Kami bisa menyelesaikan makalah ini, dalam kesempatan kali ini kami akan  membahas tentang “ Kebijakan Fiskal ”. Makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan oleh Dosen Pengantar Ekonomi.
Untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah terlibat langsung dalam proses pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, oleh karena itu kami mengharapkan saran dan kritik dari Dosen Pembimbing dalam rangka penambahan dan peluasan.


Penulis,


PENDAHULUAN
Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:

    Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
    Pola persebaran sumber daya
    Distribusi pendapatan

BAB I
1.1  PENGERTIAN KEBIJAKAN FISKAL (Fiscal Policy)
Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Kebijakan ini mirip dengan kebijakan moneter untuk mengatur jumlah uang beredar, namun kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan pendapatan dan belanja pemerintah.
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, kebijakan fiskal adalah kebjakan pemerintah yang berkaitan dengan penerimaan atau pengeluaran Negara.
Dari semua unsure APBN hanya pembelanjaan Negara atau pengeluaran dan Negara dan pajak yang dapat diatur oleh pemerintah dengan kebijakan fiscal. Contoh kebijakan fiscal adalah apabila perekonomian nasional mengalami inflasi,pemerintah dapat mengurangi kelebihan permintaan masyarakat dengan cara memperkecil pembelanjaan dan atau menaikkan pajak agar tercipta kestabilan lagi. Cara demikian disebut dengan pengelolaan anggaran.
1.2 TUJUAN KEBIJAKAN FISKAL
Tujuan kebijakan fiscal adalah untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Hal ini dilakukan dengan jalan memperbesar dan memperkecil pengeluaran komsumsi pemerintah (G), jumlah transfer pemerntah (Tr), dan jumlah pajak (Tx) yang diterima pemerintah sehingga dapat mempengaruhi tingkat pendapatn nasional (Y) dan tingkat kesempatan kerja (N).
Tujuan utama kebijakan fiskal ialah untuk mencegah pengangguran dan menstabilkan harga. Implementasinya untuk menggerakkan Pos penerimaan dan pengeluaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan semakin kompleksnya struktur ekonomi perdagangan dan keuangan, maka semakin rumit pula cara penanggulangan inflasi. Kombinasi beragam harus digunakan secara tepat, seperti kebijakan fiskal, kebijakan moneter, perdagangan dan penentuan harga.
Dalam kebijakan fiskal, inflasi dikendalikan dengan surplus anggaran, sedangkan dalam kerangka kebijakan moneter, inflasi dikendalikan dengan tingkat bunga dan cadangan wajib. Piranti kebijakan yang perlu dipersiapkan

1. Pajak untuk sektor swasta
2. Pinjaman pada masyarkat
3. Pengeluaran Pemerintah untuk pengendalian pengangguran

Apabila piranti kebijakan dimaksud ternyata gagal, maka cara yang tepat dengan MENCETAK UANG. Uang yang dicetak oleh pemerintah harus dijamin dengan cadangan devisa yang cukup, agar uang yang beredar di masyarakat aman.
Kebijakan Fiskal

    Ekspansif : implementasi kebijakan ini dengan menaikkan pengeluaran pemerintah dan menurunkan penerimaan pajak.
    Kontraktif : implementasi kebijakan ini dengan menurunkan pengeluaran pemerintah dan menaikkan penerimaan pajak.

Permasalahan yang mungkin muncul dalam kebijakan fiscal
1.           Bagaimana meningkatkan kemampuan perpajakan (Taxable Capacity)
2.           Bagaimana membuat seimbang komposisi pajak
3.           Bagaimana merancang pajak-pajak khusus
Macam-macam Kebijakan Fiskal

    Functional finance : Pembiayaan pemerintah yang bersifat fungsional
    The managed budget approach : Pendekatan pengelolaan Anggaran
    The stabilizing budget : Stabilisasi anggaran yang otomatis, apabila model ini gagal, maka pemerintah dapat meningkatkan pengeluarannya seperti dengan menaikkan gaji PNS atau subsidi
    Balance budget approach : Pendekatan Anggaran Belanja berimbang, namun bila terlambat penyesuaian (Perubahan Anggaran Keuangan), maka kepercayaan masyarakat akan hilang.

Dalam konteks perencanaan pembangunan ekonomi, rancangan kebijakan fiskal tidak hanya diarahkan untuk pengembangan aspek ekonomi seperti pendapatan per kapita, pertumbuhan ekonomi, pengurangan pengangguran dan stabilisasi ekonomi, tetapi juga pening katan aspek sosial seperti pemerataan pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.

Buku ini memberikan gambaran era baru pengelolaan kebijakan fiskal sejak periode 1960an hingga saat ini. Seperti perkembangan kebijakan perpajakan dan kepabeanan; perkembangan reformasi kebijakan belanja; perkembangan kebijakan pembiayaan dan sektor keuangan; desentralisasi fiskal dan otonomi daerah; termasuk peningkatan kualitas dan pengamanan pelaksanaan kebijakan fiskal.

Karena itu, kebijakan fiskal senantiasa mengalami perubahan dari tahun ke tahun sejalan dengan masa bakti kabinet pemerintahan saat itu. Buku ini disarankan dimiliki oleh para birokrat pemerintahan, pemerhati perpajakan dan keuangan, dosen, mahasiswa, serta masyarakat umum yang memiliki perhatian terhadap kebijakan fiskal di Indonesia.

RESENSI TERKINI - Era Baru Kebijakan Fiskal : Pemikiran, Konsep, dan Implementasi

Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat memengaruhi variabel-variabel berikut:

* Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
* Pola persebaran sumber daya
* Distribusi pendapatan
1.3 INSTRUMEN KEBIJAKAN FISKAL
Instrumen kebijakan fiskal adalah penerimaan dan pengeluaran pemerintah yang berhubungan erat dengan pajak. Dari sisi pajak jelas jika mengubah tarif pajak yang berlaku akan berpengaruh pada ekonomi. Jika pajak diturunkan maka kemampuan daya beli masyarakat akan meningkat dan industri akan dapat meningkatkan jumlah output. Dan sebaliknya kenaikan pajak akan menurunkan daya beli masyarakat serta menurunkan output industri secara umum. Perubahan dalam tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat berdampak pada variabel-variabel berikut dalam perekonomian:

    Aggregate demand and the level of economic activity ( Permintaan agregat dan tingkat kegiatan ekonomi )
    The pattern of resource allocation (Pola alokasi sumber daya)
    The distribution of income (Distribusi pendapatan)

Kebijakan fiskal mengacu pada efek keseluruhan hasil anggaran pada kegiatan ekonomi. Sikap yang tiga kemungkinan kebijakan fiskal yang netral, ekspansif, dan kontraktif:

    Sebuah sikap netral menyiratkan kebijakan fiskal anggaran berimbang di mana G = T (Pemerintah pengeluaran = Pajak pendapatan). Pengeluaran pemerintah sepenuhnya didanai oleh penerimaan pajak dan hasil keseluruhan anggaran memiliki efek netral pada tingkat kegiatan ekonomi.

    Sikap ekspansif kebijakan fiskal bersih melibatkan peningkatan pengeluaran pemerintah (G> t) melalui pengeluaran pemerintah meningkat, penurunan pendapatan pajak, atau kombinasi dari keduanya. Hal ini akan mengakibatkan defisit anggaran yang lebih besar atau lebih kecil daripada surplus anggaran pemerintah sebelumnya, atau defisit jika sebelumnya pemerintah memiliki anggaran berimbang. . Ekspansioner kebijakan fiskal biasanya berhubungan dengan defisit anggaran.

    Sebuah kontraktif kebijakan fiskal (G <T) terjadi ketika bersih dikurangi pengeluaran pemerintah baik melalui pendapatan pajak yang lebih tinggi, mengurangi pengeluaran pemerintah, atau kombinasi dari keduanya. Hal ini akan mengakibatkan defisit anggaran yang lebih rendah atau surplus yang lebih besar daripada pemerintah sebelumnya, atau surplus jika sebelumnya pemerintah memiliki anggaran berimbang. Contractionary fiscal policy is usually associated with a surplus. Kontraktif kebijakan fiskal biasanya berhubungan dengan surplus


PENUTUP
Kebijakan fiskal dapat diartikan sebagai tindakan yang diambil oleh pemerintah dalam bidang anggaran belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian, khususnya Perekonomian Indonesia.
Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyampaikan tiga arah kebijakan fiskal 2011 dalam pembahasan kerangka ekonomi makro 2011, yang disampaikan saat rapat kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Rabu, (02/06) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
''Yang pertama adalah mendukung pencapaian sasaran pembangunan 2011,'' paparnya. Dalam upaya mendukung pencapaian sasaran pembangunan 2011, pemerintah akan melakukan pembangunan kesejahteraan, pembangunan demokrasi dan penegakan hukum.
Arah kebijakan fiskal yang kedua adalah berorientasi pada peningkatan kesejahteraan melalui sasaran utama (triple track strategy). ''Dalam hal ini, kami akan menggunakan triple track strategy, pro-growth, pro-job, pro-poor,'' demikian Menkeu menjelaskan. Terakhir, pemerintah berupaya untuk menjaga kesinambungan fiskal melalui proyeksi defisit anggaran 2011 yaitu sekitar 1,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB)
DAFTAR PUSTAKA

web.kppn-tanjungredeb.net/.../404-tiga-arah-kebijakan-fiskal-2011
www.scribd.com/doc/36394981/kebijakan-fiskal
www.jevuska.com › Arsip
www.docstoc.com/.../Makalah-Politik-Ekonomi-Kebijakan-Fiskal
wikipedia indonesia

Jumat, 26 Oktober 2012

Penerapan Manajemen Resiko Perbankan Syariah




Penerapan Manajemen Resiko Perbankan Syariah
BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Pesatnya perkembangan bank syariah baik di Indonesia maupun Internasional telah memberikan alternatif baru bagi konsumen pengguna jasa perbankan untuk menikmati produk-produk perbankan dengan metode nonbunga dan kepercayaan masyarakat sebagai konsumen terhadap perbankan syariah semakin tinggi. Saat ini, layanan perbankan syariah telah tersebar di seluruh penjuru dunia dalam berbagai bentuk lembaga keuangan, bahkan di Indonesia sejak 1992 sampai saat ini telah tumbuh dan berdiri berbagai lembaga keuangan syariah khususnya perbankan seperti Bank Muamalat, Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, BRI Syariah, Bank Mega Syariah dan lain sebagainya.
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No.21 Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya lebih cepat lagi. Hal ini terlihat dari besarnya jumlah nasabah dan melonjaknya aset perbankan syariah secara keseluruhan. Sejak dikembangkannya sistem perbankan syariah di Tanah Air, 19 tahun lalu, total aset industri perbankan syariah telah meningkat 39,7 kali lipat dari Rp 1,79 triliun per Mei 2010. Laju pertumbuhan aset secara impresif berkisar 46 persen per tahun sesuai laporan yang diumumkan Islamic Bank (IB) melalui Bnak Indonesia.
Perkembangan yang begitu pesat telah membuktikan kepada kita betapa hebat dan pentingnya perbankan syariah dalam perekonomian kita karena dari sejarahnya bank syariah mampu melewati masa-masa krisis perekonomian yang dialami negara kita, keberadaannya telah memberikan alternatif investasi lain tanpa harus memikirkan resiko perkembangan balas jasa dengan metode bunga yang tidak pasti. Akan tetapi dalam pelaksanaanya perbankan syariah membutuhkan perlakuan khusus karena praktek penerapannya berbeda dengan bank konvensional yang telah kita kenal selama ini, terutama dalam hal menangani resiko dan tantangan yang dihadapi oleh bank syariah.
Perkembangan pasar perbankan syariah ini bekaitan erat dengan penanganan resiko yang ditangani oleh bank agar roda fungsi bank sebagai penghimpun dan penyalur dana berjalan dengan stabil. Untuk itu lah dalam industri perbankan khususnya syariah perlu memiliki, menerapkan dan mengontrol resiko yang tidak diharapkan dan untuk mengambil manfaat dari peluang bisnis yang tercipta sebagaimana yang sudah dilakukan oleh Bank Konvensional. Pihak manajemen perlu menciptakan lingkungan manajemen resiko dan mengidentifikasi tujuan dan strategi lembaga secara jelas, serta dengan membentuk sistem yang dapat mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengelola berbagai eksposur resiko, bank syariah juga perlu membentuk sistem kontrol yang handal oleh karena karakteristik produk dan pelaksanaannya yang unik  dan berbeda dari yang biasanya dilakukan bank konvensional.
Disebabkan keunikan karakteristiknya dalam mengembangkan sistem identifikasi dalam manajemen resiko tersebut maka penulis tertarik membuat makalah yang berhubungan dengan terapannya dalam perbankan, juga dikarenakan memenuhi salah satu tugas mata kuliah manajemen resiko perbankan syariah sehingga judul makalah ini adalah “PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO BANK SYARIAH”.

2.      Permasalahan
Bagaimana penerapan manajemen resiko pada perbankan syariah?


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.     Sejarah Bank Syariah
Kasmir (2008:187) mengatakan bahwa jenis bank jika dilihat dari cara menetukan harga terbagi menjadi dua macam, yaitu bank yang berdasarkan prinsip konvensional dan bank yang berdasarkan prinsip syariah. Hal utama yang menjadi perbedaan antara kedua jenis bank ini adalah dalam hal penentuan harga, baik untuk harga jual maupun harga beli. Dalam bank konvensional penentuan harga selalu didasarkan kepada bunga, sedangkan dalam bank syariah didasarkan kepada konsep islam, yaitu kerja sama dalam skema bagi hasil, baik untung maupun rugi.
Sejarah awal mula kegiatan Bank Syariah yang pertama sekali dilakukan adalah di Pakistan dan Malaysia pada sekitar tahun 1940-an. Kemudian di Mesir pada tahun 1963 berdiri Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr Bank. Bank ini beroperasi di pedesaan Mesir dan masih berskala kecil, lalu berkembang menjadi institusi keuangan terbesar di Pakistan dan menjadi pelopor bagi negara-nagara yang berpenduduk mayoritas islam.
Gagasan untuk mendirikan bank syariah di Indonesia sebenarnya sudah muncul sejak pertengahan tahun 1970-an lalu pada tahun 1991 lahir lah Bank Muamalat atas hasil kerja sama tim perbankan MUI. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh bank-bank perkreditan rakyat syariah (BPR). Namun demikian, keberadaan dua lembaga keuangan tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat lapisan bawah. Oleh karena itu, dibentuklah lembaga-lembaga simpan-pinjam yang disebut baitul maal wattamwil (BMT). Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori berdirinya asuransi islam, Syarikat Takaful Inonesia (STI) dan menjadi salah satu pemwgang sahamnya.
Perkembangan lembaga keuangan syariah tergolong cukup cepat. Salah satu alasannya adalah karena adanya keyakinan yang kuat dikalangan masyarakat muslim bahwa perbankan konvensional itu mengandung unsur riba yang dilarang agama islam. Dengan didukung oleh UU No.10 Tahun 1998 sebagai pengganti UU No.7 Tahun 1992 memberikan peluang yang lebih besar lagi bagi pengembangan perbankan syariah karena didalamnya disebutkan tujuan dikembangkannya syariah adalah :
o       Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan diterapkannya sistem perbankan syariah yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan konvensional yang menerapkan sistem bunga.
o       Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara, dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah hubungan debitur dan kreditur (debitor to creditor relationship).
o       Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan (perpectual interest effect), membatasi kegiatan spekulasi yang tidak produktif (unproduction speculation), pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.



B.      Pengertian Resiko
Resiko dalam berbagai bentuk dan sumbernya merupakan komponen yang tak terpisahkan dari setiap aktivitas. Hal ini dikarenakan masa depan merupakan sesuatu yang sangat sulit diprediksi. Tidak ada seorang pun didunia ini yang tahu dengan pasti apa yang akan terjadi dimasa depan, bahkan mungkin satu detik kedelapan. Selalu ada elemen ketidakpastian yang menimbulkan resiko (Dradjad H. Wibowo, dalam Masud Ali:2006,19).
Ada dua istilah yang sering dicampur adukan yaitu ketidakpastian dan resiko. Sebagian orang menganggapnya sama. Sebagian lagi menganggapnya berbeda. Disini yang membedakan kedua istilah tersebut karena pengelolaanyya berbeda. Ketidakpastian mengacu pada pengertian resiko yang tidak diperkirakan (unexpected risk) (Djohanputro:2006).
Menurut kamus ekonomi, resiko adalah kemungkinan mengalami kerugian atau kegagalan karena tindakan atau peristiwa tertentu. Sedangkan menurut Herman Darmawan (2006:1) resiko senantiasa ada karena mengenanya kemungkinan akan terjadi akibat buruk atau akibat yang merugi, seperti kemungkinan kehilangan, cidera, kebakaran, dan lain sebagainya.
Resiko menurut Wikipedia Indonesia adalah bahaya yang dapat terjadi akibat dari sebuah proses yang sedang berlangsung atau kejadian yang akan datang. Dalam bidang asuransi, resiko dapat diartikan sebagai suatu keadaan ketidakpastian, dimana jika terjadi suatu keadaan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan kerugian.
Resiko dalam konteks perbankan menurut Adiwarman A. Karim (2004:255)merupakan suatu kejadian potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Sedangkan Eddie Cade menyatakan bahwa definisi resiko berbeda-beda tergantung pada tujuannya.
Defenisi resiko yang tepat dilihat dari sudut pandang Bank adalah exposure terhadap ketidakpastian pendapatan. Sedangkan Philip Best menyatakan bahwa resiko adalah kerugian secara finansial, baik secara langsung maupun tidak langsung. Resiko bank adalah keterbukaan terhadap kemungkinan rugi (exposure to the change of loss) (Erdatna:2008). Dalam konteks perbankan resiko merupakan potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian bank.
C.      Manajemen Resiko Perbankan
Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami perkembangan pesat, perbankan pada umumnya dan perbankan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya.
Resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu perbankan, dan bank syariah khusus dapat membentuk satuan tim yang mampu mengeloladan merupakan cakupan dari manajemen resiko itu sendiri, yaitu :
-          Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi
-          Kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit
-          Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian resiko serta sistem informasi manajemen resiko
-          Sistem pengendalian intern yang menyeluruh
Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 11/25/PBI/2009 tantang perubahan atas PBI No.5/8/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum “Manajemen Resiko adalah serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.
Dalam pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian resiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1.      Identifikasi resiko dilaksanakan dengan melakukan analisis terhadap :
a.      Karakteristik resiko yang melekat pada aktifitas fungsional
b.      Resiko dari produk dan kegiatan usaha
2.      Pengukuran resiko dilaksanakan dengan melakukan :
a.      Evaluasi secara berkala terhadap kesesuaian asumsi, sumber data, dan prosedur yang digunakan untuk mengukur resiko.
b.      Penyempurnaan terhadap sistem pengukuran resiko apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk, transaksi, dan faktor resiko yang bersifat material.
3.      Pemantauan resiko dilaksanakan dengan melakukan :
a.      Evaluasi terhadap eksposure resiko
b.      Penyempurnaan proses pelaporan apabila terdapat perubahan kegiatan usaha, produk transaksi, faktor resiko, teknologi informasi dan sistem informasi manajemen resiko yang bersifat material.
4.      Pelaksanaan pengendalian resiko, digunakan untuk mengelola resiko-resiko tertentu yang dapat membahayakan kelangsungan usaha bank.
Resiko dapat diklasifikasikan melalui berbagai cara, diantaranya resiko dibedakan menjadi resiko bisnis dan resiko finansial. Resiko bisnis muncul secara alami dari aktivitas bisnis yang dijalankan yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi pasaran produk. Sedangkan resiko finansial muncul dari kemungkinan kerugian dalam pasar keuangan, biasanya perubahan pada variabel-variabel keuangan, biasanya berhubungan dengan leverage dan risiko dimana kewajiban dan liabilitas tidak bisa dipertemukan dengan aset lancar.
BAB III
PENERAPAN MANAJEMEN RESIKO
BANK SYARIAH

Lembaga Keuangan Syariah yang dibentuk sejak tiga dekade terakhir sebagai alternatif bagi lembaga keuangan konvensional, terutama ditujukan untuk menawarkan kesempatan investasi, pembiayaan, dan perniagaan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah khususnya perbankan. Dalam usianya yang masih sangat belia, pertumbuhan industri perbankan ini sangat membanggakan. Salah satu fungsi dasarnya adalah untuk mengelola resiko yang muncul dalam transaksi keuangan secara efektif.
Menurut PBI No.11/25/2009 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum bahwa :
·        Bank Umum Konvensional wajib menerapkan Manajemen Resiko untuk seluruh resiko sebagaimana yang dimaksud
·        Bank Umum Syariah wajib menerapkan Manajemen Resiko paling kurang untuk 4 (empat) jenis resiko sebagaiman dimaksud
Adapun penerapan manajemen resiko yang dimaksud menurut PBI diidentifikasikan sebagai berikut :
1.      Resiko Kredit adalah resiko akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban pada bank.
2.      Resiko Pasar adalah resiko pada posisi neraca dan rekening administratif termasuk transaksi derivatif, akibat perubahan secara keseluruhan dari kondisi pasar, termasuk resiko perubahan harga option.
3.      Resiko Likuiditas adalah resiko akibat ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau dari aset likuid berkualitas  tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
4.      Resiko Operasional adalah resiko akibat ketidakcukupan dan/atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya kejadian-kejadian eksternal yang mempengaruhi operasional bank.
5.      Resiko Kepatuhan adalah resiko akibat bank tidak mematuhi dan/atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku.
6.      Resiko Hukum adalah resiko akibat tuntutan hukum dan/atau kelemahan aspek yuridis.
7.      Resiko Reputasi adalah resiko akibat menurunnya tingkat kepercayaanstakeholder yang bersumber dari persepsi negatif terhadap bank.
8.      Resiko Stratejik adalah resiko akibat ketidaktepatan dalam pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Menurut Tariqullah Khan dan Habib Ahmed (2008:20-30), proses penerapan manajemen resiko bank syariah terdiri dari :
a.      Manajemen Resiko Kredit
Dewan direksi harus menguraikan keseluruhan strategi manajemen resiko kredit dengan menunjukan kemauan bank untuk menyalurkan pembiayaan di berbagai sektor usaha, lokasi geografis, jangka waktu, dan tingkat profitabilitas tertentu. Sejalan dengan hal tersebut, juga harus memahami tujuan dari kualitas kredit, pendapatan, pertumbuhan, dan hubungan timbal balik antara resiko dengan tingkat return dari aktivitas yang dijalankan. Dan yang terpenting, strategi manajemen resiko kredit tersebut harus dikomunikasikan pada seluruh bagian perusahaan.
Senior manajemen bank bertanggung jawab untuk melaksanakan strategi manajemen resiko kredit yang telah ditetapkan oleh dewan direksi, yaitu dengan mengembangkan prosedur-prosedur tertulis yang merefleksikan keseluruhan strategi serta meyakinkan pelaksanaannya. Prosedur yang dibuat harus memuat kebijakan-kebijakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol resiko kredit. Perhatian juga perlu diberikan kepada aspek diversifikasi portofolio dengan menetapkan batas minimum pemberian kredit pada satu nasabah, grup usaha dari nasabah terkait, industri, sektor ekonomi, suatu kawasan, dan produk-produk individu. Bank dapat menggunakan pengujian (stress testing) dalam menetapkan limit dan monitoring dengan mempertimbangkan siklus usaha, suku bunga yang berlaku dan perubahan-perubahan yang terjadi di pasar. Bagi bank yang menyalurkan kredit berskala internasional, juga perlu menilai risiko negara (country risk) di mana ia berhubungan.
Bank harus memiliki sistem untuk pengadministrasian berbagai jenis risiko kredit dalam portofolio. Administrasi kredit yang tepat oleh bank setidaknya harus mencakup operasional yang efektif dan efisien dalam rangka dokumentasi proses monitoring, ketentuan-ketentuan dalam kontrak, ketentuan legalitas, jaminan, dan lain-lain, membuat laporan kepada manajemen secara akurat dan berkala, mematuhi kebijakan dan prosedur manajemen, serta aturan dan regulasi yang berlaku.
b.      Manajemen Resiko Suku Bunga
Dewan direksi harus menetapkan keseluruhan tujuan, strategi, dan kebijakan yang mengatur risiko suku bunga bank. Di samping menetapkan risiko suku  bunga, dewan dir3eksi juga harus memastikan bahwa pihak manajemen telah mengambil langkah-langkah yang tepat untuk, mengukur, memonitor, dan mengontrol risiko-risiko ini. Dewan direksi harus diberikan informasi secara periodik dan mereview status risiko suku bunga bank ini melalui laporan.
Senior manajemen harus memastikan bahwa bank telah mematuhi kebijakan dan prosedur yang memungkinkan risiko suku bunga dapat dikelola. Kebijakan dan prosedur ini meliputi pemeliharaan proses review manajemen risiko suku bunga, limit risiko yang tepat, sistem pengukuran risiko yang memadai, sistem pelaporan risiko suku bunga yang komprehensif, dan kontrol internal yang efektif. Bank harus menetapkan siapa saja individu atau komite yang harus bertanggung jawab terhadap manajemen risiko suku bunga dan mendefenisikan garis wewenang dan tanggung jawab masing-masing.
Bank harus memiliki kebijakan dan prosedur yang terdefenisi dengan jelas untuk membatasi dan mengontrol risiko suku bunga, yaitu dengan menjelaskan tanggung jawab dan akuntalibilitas terhadap keputusan manajemen risiko suku bunga dan mendefenisikan instrumen yang telah diotorisasi, strategi hedging dan profit taking. Risiko suku bunga pada produk-produk baru harus dijelaskan melalui analisis waktu jatuh tempo, masa repricing dan poengambilan suatu instrumen. Dewan direksi harus menetapkan hedging atau stategi manajemen risiko yang baru sebelum semua ini diimplementasikan.
c.       Manajemen Resiko Likuiditas
Bisnis perbankan berhubungan dengan dana seseorang yang sewaktu-waktu dapat ditarik sehingga manajemen likuiditas merupakan yang sangat penting bagi bank. Oleh karena itu, senior manajemen dan dewan direksi harus meyakinkan bahwa prioritas dan tujuan bank untuk kepereluan manajemen likuiditas telah jelas. Senior manajemen harus memastikan bahwa risiko likuiditas telah terkelola secara efektif dengan menentukan serangkaian prosedur dan kebijakan. Bank harus memiliki sistem informasi yang berfungsi untuk mengukur, memonitor, mengontrol, dan melaporkan risiko likuiditas. Laporan berkala mengenal likuiditas harus disediakan bagi dewan direksi dan senior manajemen. Laporan ini, diantaranya harus mencakup posisi likuiditas dalam rentang waktu tertentu.
Esensi dari masalah manajemen likuiditas muncul dari adanya kenyataan bahwa terdapat hubungan timbal balik antara likuiditas dan profibalitas, dan adanya mismatch antara permintaan dan penawaran aset-aset  yang likuid. Sementara bank tidak mampu mengontrol sumber-sumber dana (dana pihak ketiga), ia dapat mengontrol penggunaan dari dana-dana tersebut. Misalnya, posisi  likuiditas bank memberikan prioritas pada pengalokasian dana. Dengan asumsi bahwa opportunity cost dari dana-dana  yang likuid adalah tetap, maka setelah memiliki likuiditas yang cukup, bank harus melakukan investasi yang dapat mendatangkan keuntungan. Sebagian besar bank yang ada sekarang ini telah membuat cadangan pelindung (protective reserve) di atas cadangan yang telah direncanakan. Sementara cadangan yang direncanakan merupakan verifikasi dari ketentuan regulator dan hasil perkiraan, jumlah dari cadangan pelindung tergantung pada sikap pihak manajemen terhadap risiko likuiditas.
d.      Manajemen Resiko Operasional
Dewan direksi dan senior manajemen harus mengembangkan keseluruhan kebijakan dan strategi untuk mengelola resiko operasional. Sementara resiko operasional bisa muncul akibat kegagalan faktor manusia, proses, dan teknologi, manajemen atas resiko ini lebih kompleks lagi. Senior manajemen perlu menetapkan standar mnajemen resiko dan pedoman pelaksanaan yang jelas, yang dapat mereduksi resiko operasional ini. Disamping itu, perhatian juga perlu ditekankan pada resiko aspek manusia, proses, dan teknologi yang bisa muncul dalam lembaga.
Dengan tetap memerhatikan sumber-sumber munculnya resiko operasional, standar identifikasi dan manajemen yang dibutuhkan juga perlu dikembangkan. Ketelitian juga perlu ditekankan untuk mengatasi resiko operasional yang muncul dari departemen atau unit organisasi akibat faktor manusia, proses, dan teknologi. Pedoman dan aturan juga harus dirinci dengan jelas. Disamping itu, pihak manajemen juga perlu mengembangkan “katalog resiko operasional” dimana peta dari proses bisnis dari tiap departemen dalam lembaga terinci dengan jelas. Misalnya, proses bisnis yang berhubungan dengan nasabah dan investor perlu disusun. Katalog ini tidak saja dapat mengidentifikasi dan menilai resiko operasional, tetapi juga dapat dipakai sebagai bukti transparansi oleh pihak manajemen dan auditor.
Resiko operasional memang cukup kompleks sehingga sangat sulit untuk mengukurnya. Sebagian besar teknik pengukuran resiko operasional yang ada masih sangat sederhana dan bersifat eksperimental. Namun demikian, bank dapat mengumpulkan informasi tentang berbagai jenis dari laporan dan rencana yang dipublikasikan dalam lembaga (seperti laporan audit, laporan pengawasan, laporan manajemen, rencana bisnis, rencana operasional, tingkat error, dan lain-lain). Review secara cermat dan hati-hati atas dokumen-dokumen ini dapat menutup GAP yang merepresentasikan potensi resiko. Data dari laporan-laporan tersebut lebih lanjut dapat dikategorikan menjadi faktor internal dan faktor eksternal dan dikonversi ke dalam kemungkinan kerugian lembaga. Sebagian dari resiko operasional juga dapat terlindungi. Alat untuk menilai, memonitor, dan mengelola resiko di antaranya meliputi review secara berkala, pengujian (stress testing), dan alokasi modal ekonomi dalam jumlah yang tepat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A.     Kesimpulan
1.      Perkembangan lembaga keuangan syariah tergolong cukup cepat. Dengan didukung oleh UU No.10 Tahun 1998 sebagai pengganti UU No.7 Tahun 1992 memberikan peluang yang lebih besar lagi bagi pengembangan perbankan syariah karena bertujuan memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga, membuka peluang pembiayaan dengan prinsip kemitraan, dan memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga yang berkesinambungan.
2.      Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan internal perbankan yang mengalami perkembangan pesat, perbankan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu bank syariah harus dapat membentuk satuan tim yang mampu mengelola dan merupakan cakupan dari manajemen resiko itu sendiri yaitu : Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi; kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit; kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian resiko serta sistem informasi manajemen resiko; dan sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
3.      Menurut PBI (Peraturan Bank Indonesia) Nomor 11/25/PBI/2009 tantang perubahan atas PBI No.5/8/2003 tentang penerapan manajemen resiko bagi bank umum bahwa penerapan manajemen resiko terdiri dari resiko kredit, resiko pasar, resiko likuiditas, resiko operasional, resiko hukum, resiko kepatuhan, resiko reputasi dan resiko stratejik. Bank Umum Konvensional wajib menerapkan keseluruhan resiko dimaksud sedangkan Bank Umum Syariah wajib menerapkan paling kurang 4 (empat) jenis resiko tersebut.
4.      Penerapan manajemen resiko yang biasa dikelola oleh perbankan syariah antara lain manajemen resiko kredit, manajemen resiko suku bunga, manajemen resiko likuiditas dan manajemen resiko operasional.

B.      Saran
Perbankan Syariah yang berfungsi menghimpun dana dan menyalurkan dana bagi masyarakat disarankan mampu melaksanakan tugasnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya yang berlandaskan islam. Serta mampu meyakinkan masyarakat atas keberadaan syariah yang tidak menjalankan konsep bunga yang rentan akan fluktuasi bunga. Untuk itu diharapkan Bank Syariah mampu mengelola manajemen resiko secara cermat agar fungsi utamanya dapat berjalan dengan baik. Melalui UU No.21 Tahun 2008 dan PBI No.11/25/2009 telah membuktikan kepada kita bahwa pemerintah serius terhadap perkembangan bank syariah yang sudah sangat pesat di kalangan masyarakat. Oleh karena itu juga disarankan agar Bank Syariah mampu mempromosikan secara luas program-programnya dengan manajemen yang baik agar masyarakat sebagai pengguna jasa-jasa perbankan yakin dan percaya.