Jumat, 04 Oktober 2013

PERMASALAHAN UKM

PERMASALAHAN UKM
Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Semester V
Mata Kuliah Ekonomi Koperasi
stai-ba









Dosen Pengampu :
ARIF JUNAEDI, MEI.


Oleh : KHOIRUL AMIN
NIM: 2010146290004



FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM BADRUS SHOLEH
2013




BAB I
PENDAHULUAN
Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia UKM selalu digambarkan sebagai sector yang mempunyai peranan yang penting, karena sebagian besar jumlah penduduknya berpendidikan rendah dan hidup dalam kegiatan usaha kecil baik di sector tradisional maupun modern. Peranan UKM tersebut menjadi bagian yang diutamakan dalam setiap perencanaan tahapan pembangunan yang dikelola oleh dua departemen yaitu : Departemen Perindustrian dan perdagangan serta Departemen Koperasi dan UKM.
Usaha Kecil dan Menengah disingkat UKM adalah sebuah istilah yang mengacu ke jenis usaha kecil yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Dan usaha yang berdiri sendiri. Menurut Keputusan Presiden RI no. 99 tahun 1998 pengertian Usaha Kecil adalah: “Kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dengan bidang usaha yang secara mayoritas merupakan kegiatan usaha kecil dan perlu dilindungi untuk mencegah dari persaingan usaha yang tidak sehat.
Kegiatan UKM sudah menjamur di kota maupun pedesaan. Namun demikian, usaha pengembangan yang dilakukan masih belum memuaskan hasilnya, karena pada kenyataanya kemajuan UKM sangat kecil di bandingkan kemajuan yang dicapai usaha besar.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Permasalahan UKM
Sifat Permasalahan
Seperti halnya juga Negara – Negara lain. Perkembangan UKM di Indonesia tidak lepas dari berbagai macam masalah. Tingkat intensitas dan sifat dari masalah – masalah tersebut bisa berbeda tidak hanya menurut jenis produk atau pasar yang dilayani. Tetapi juga berbeda antar wilayah / lokasi, antarsentra, antar sektor atau subsektor atau jenis kegiatan, dan antarunit usaha dalam kegiatan / sektor yang sama. Namun demikian, ada beberapa masalah yang umum dihadapi oleh pengusaha kecil dan menengah seperti keterbatasan modal kerja dan / atau modal investasi, kesulitan mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang baik dan harga yang terjangkau, keterbatasan teknologi, SDM dengan kualitas yang baik (terutama manajemen dan teknisi produksi), informasi khususnya mengenai pasar, dan kesulitan dalam pemasaran (termasuk manajemen dan teknisi distribusi). Dengan perkataan lain, masalah – masalah yang dihadapi banyak pengusaha kecil dan menengah bersifat mulidismensi. Selain itu, secara alami ada beberapa permasalahan yang bersifat lebih intern (sumbernya di dalam perusahaan), sedangkan lainnya lebih bersifat eksternal (sumbernya di luar perusahaan, atau di luar pengaruh perusahaan), sedangkan lainnya lebih bersifat eksternal (sumbernya di luar perusahaan, atau di luar pengaruh perusahaan). Dua masalah eksternal yang oleh banyak pengusaha kecil dan menengah dianggap paling serius adalah keterbatasan akses ke bank dan distorsi pasar (output maupun input) yang disebabkan oleh kebijaksanaan – kebijaksanaan atau peraturan – peraturan pemerintah yang tidak kondusif, yang disengaja maupun tidak disengaja lebih menguntungkan pengusaha besar, termasuk investor asing (PMA).
Masalah – masalah tersebut di atas semakin terasa bagi pengusaha – pengusaha yang melayani pasar terbuka atau ekspor, lain halnya dengan pengusaha – pengusaha yang hanya melayani pasar lokal di daerah yang relatif terisolasi. Oleh karena itu, di pasar terbuka mereka berhadapan dengan produk – produk serupa dari pengusaha – pengusaha besar yang lebih unggul dalam banyak hal, majupun persaingan dari barang – barang impor. Bahkan di pasar ekspor, pengusaha – pengusaha kecil maupun menengah Indonesia harus berhadapan dengan mitra mereka juga dari skala usaha yang sama dan lebih maju dari Negara – Negara lain. Dalam kondisi pasar seperti ini, faktor – faktor seperti penguasaan teknologi dan informasi, modal yang cukup, termasuk untuk melakukan inovasi dalam produk dan proses produksi, pembaharuan mesin dan alat – alat produksi dan untuk melakukan kegiatan promosi yang luas dan agresif, pekerja dnegan keterampilan yang tinggi, dan manajer dengan etrepreneurship dan tingkat keterampilan yang tinggi dalam business management serta memiliki wawasan yang luas menjadi faktor – faktor yang sangat penting, untuk paling tidak mempertahankan tingkat daya saing global.

Kasus IK dan IRT
Sebagai suatu kasus mengenai masaah – masalah yang dihadapi UKM, hasil survei BPS terhadap industri kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT) tahun 1993 menunjukkan bahwa ada lima (5) masalah utama yang dihadapi kelompok industri tersebut. Masalah – masalah ini dapat dikatakan umum dihadapi oleh pengusaha – pengusaha IK dan IRT, terutama mereka yang berlokasi di daerah pedalaman yang relatif terisolasi dari pusat – pusat administrasi pemerintah dan kegiatan ekonomi dan keuangan. Bisa dilihat bahwa di antara problem – problem tersebut, yang paling sering disebut adalah keterbatasan modal, disusul kemudian dengan kesulitan dalam pemasaran sebagai masalah besar kedua yang dihadapi oleh sebagian besar dari pengusaha – pengusaha yang masuk di dalam sampel survei. Hanya persentase kecil dari responden yang mengaku mempunyai kesulitan besar yang berkaitan dengan bahan baku. Biasanya masalah bahan baku dalam bentuk harga yang terlalu mahal, tempat mendaftarkannya terlalu jauh dari lokasi mereka, biaya penyimpanan stok terlalu mahal, atau kualitas bahan baku yang didapat tidak sesuai dengan yang diinginkan. Yang cukup menarik dari hasil survei BPS tersebut adalah bahwa jumlah pengusaha yang mengatakan keterbatasan SDM merupakan suatu masalah serius ternyata tidak banyak, baik yang berlokasi di daerah pedesaan maupun di perkotaan.

Pembahasan lebih dalam tentang permasalahan UKM.
Kesulitan Pemasaran
Dalam literatur, pemasaran sering dianggap sebagai salah satu kendala yang kritis bagi perkembangan UKM. Hasil dari suatu studi lintas Negara yang dilakukan oleh James dan Akrasanee (1998) di sejumlah Negara ASEAN menunjukkan bahwa pemasaran adalah termasuk growth constraint yang dihadapi oleh banyak pengusaha kecil dan menengah (masalah ini dijumpai tidak terlalu serius di Singapura). Studi ini menyimpulkan bahwa jika UKM tidak melakukan perbaikan yang cukup di semua aspek – aspek yang terkait dengan pemasaran seperti kualitas produk dan kegiatan promosi maka sulit sekali bagi UKM untuk dapat turut berpartisipasi dalam era promosi maka sulit sekali bagi UKM untuk dapat turut berpartisipasi dalam era perdagangan bebas.
Hasil studi mereka itu menunjukkan bahwa salah satu aspek yang terkait dengan masalah pemasaran yang umum dihadapi oleh UKM adalah tekanan – tekanan persaingan, baik di pasar domestik dari produk – produk serupa buatan UB dan impor, maupun di pasar ekspor. Saat ini, di Negara – Negara Asia yang terkena krisis keuangan seperti Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan, masalah pemasaran bisa menjadi lebih serius, karena sebagai salah satu efek dari krisis tersebut akses ke kredit bank menjadi sulit (kalau tidak dapat dikatakan tertutup sama sekali), ditambah lagi dengan mahalnya bahan baku yang pada umumnya diimpor, dan permintaan pasar dalam negeri yang menurun karena merosotnya tingkat pendapatan riil masyarakat per kapita. Akibatnya dapat di duga bahwa banyak UKM tidak memiliki sumber daya produksi yang cukup untuk paling tidak mempertahankan volume produksi dan memperbaiki kualitas dari produk – produk mereka, dan ini berarti mereka semakin sulit untuk meningkatkan atau bahkan mempertahankan tingkat daya saing mereka di pasar domestis maupun pasar internasional.

Keterbatasan Finansial
UKM, khususnya UK di Indonesia menghadapi dua masalah utama dalam aspek finansial : mobilisasi modal awal (star – up capital) dan akses ke modal kerja dan finansial jangka panjang untuk investasi yang sangat diperlukan demi pertumbuhan output jangka panjang. Walau pada umumnya modal awal bersumber dari modal (tabungan) sendiri atau sumber – sumber informal, namun sumber – sumber permodalan ini sering tidak cukup untuk kegiatan produksi, apa lagi untuk investasi (perluasan kapasitas produksi atau menggantikan mesin – mesin tua). Sementara, mengharapkan sisa dari kebutuhan finansial sepenuhnya dibiayai oleh dana dari perbankan jauh dari realitas. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika hingga saat ini walaupun begitu banyak skim – skim kredit dari perbankan dan dari bantuan BUMN, sumber – sumber pendanaan dari sector informal masih tetap dominan dalam pembiayaan kegiatan UKM, terutama usaha mikro / rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh pengusaha yang tinggal di daerah yang relatif terisolasi, persyaratan terlalu berat, urusan administrasi terlalu bertele – tele dan kurang informasi mengenai skim – skim perkreditan yang ada dan prosedurnya (Tambunan, 1994 dan 2000).
Dalam hal jenis kepemilikan modal, baik di kelompok IK maupun IRT jumlah pengusaha yang membiayai usahanya sepenuhnya dengan uang sendiri atau dengan modal sendiri dan pinjaman, lebih banyak daripada jumlah pengusaha yang menggunakan 100 persen modal dari pihak lain. Walaupun komposisinya bervariasi menurut golongan besar industri, baik di IK maupun di IRT sebagian besar dari jumlah pengusaha dengan 100 persen modal sendiri terdapat di industri makanan, minuman dan tembakau, industri kulilt, tekstil dan produk – produknya, dan industri kayu, bambu dan rotan serta produk – produknya.

Keterbatasan SDM
Keterbatasan SDM juga merupakan salah satu kendala serius bagi banyak UKM di Indonesia, terutama dalam aspek – aspek entrepreneurship, manajemen, teknik produksi, pengembangan produksi, engineering design, quality control, organisasi bisnis, akuntansi, data processing, teknik pemasaran, dan penelitian pasar. Sedangkan semua keahlian ini sangat dibutuhkan untuk mempertahankan atau memperbaiki kualitas produk, meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam produksi, memperluas pangsa pasar dan menembus pasar baru.
Sayangnya tidak ada data mengenai tingkat pendidikan di UKM, yang ada hanya data mengenai tingkat pendidikan pengusaha dan pekerja di IK dan IRT. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 4.14, data BPS Tahun 1998 menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen dari jumlah pengusaha IK dan IRT hanya.


Jumlah Pengusaha IK dan IRT Menurut Kategori Pendidikan, Tahun 1998

IK
IRT
Jumlah
%
Jumlah
%
Pendidikan Primer
Pendidikan Sekunder
Pendidikan Tersier

Jumlah
108.495
80.069
6.000

194.564
55,76
41,15
3,08

100,00
1.659.826
334.8501
7.708

2.002.335
82,89
16,72
0,39

100,00

Sering dikatakan bahwa untuk menanggulangi masalah SDM ini, memberikan pelatihan langsung kepada pengusaha sangat penting dan ini khususnya usaha mikro, tidak sanggung menanggung sendiri biaya pelatihan, oleh karena itu, peran pemerintah sangat penting dalam menyelenggarakan program – program pendidikan / pelatihan bagi pengusaha maupun tenaga kerja di UKM. Memang selama ini sudah banyak pelatihan dan penyuluhan yang dari Menegkop dan PKM, depperdag, dan Depnaker. Hanya saja efektivitasnya masih diragukan. Karena banyak pengusaha yang pernah menguikuti pelatihan – pelatihan dari pemerintah mengeluh bahwa pelatihan – pelatihan sering terlalu teoritis, waktunya terlalu singkat, tidak ada tindak lanjut (misalnya beberapa saat setelah pelatihan selesai, pihak pemberi pelatihan mengunjungi kembali pengusaha untuk melihat sejauh mana pelatihan tersebut diterapkan dalam kegiatan usahanya) dan sering kali tidak cocok dengan kebutuhan mereka sebenarnya.
Keterbatasan SDM merupakan salah satu ancaman serius bagi UKM Indonesia untuk dapat bersaing baik di pasar domestik maupun pasar internasional di dalam era perdagangan bebas anti, bahkan di masa itu SDM bersama – sama dengan teknologi akan menjadi jauh lebih penting dibandingkan modal sebagai faktor penentu utama kemampuan UKM untuk meningkatkan daya saing globalnya.

Masalah Bahan Baku
Keterbatasan bahan baku (dan input – input lainnya) juga sering menjadi salah satu kendala serius lagi pertumbuhan output atau kelangsungan produksi bagi banyak UKM di Indonesia. Terutama selama masa krisis, banyak sentra – sentra IKM di sejumlah subsektor industri manufaktur seperti sepatu dan produk – produk tekstil yang mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku atau input lainnya, atau karena harganya dalam rupiah menjadi sangat mahal akibat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Tidak sedikit dari mereka terpaksa menghentikan usaha dan berpindah profesi ke kegiatan – kegiatan ekonomi lainnya, misalnya menjadi pedagang. Beberapa contoh kasus, misalnya tahun 1998 sekitar 200 pengusaha tempe di Banjarnegara dekat perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah terpaksa menghentikan kegiatan produksi mereka karena harga kedelai yang diimpor ternyata menjadi sangat mahal. Banyak pengusaha rokok kretek di Jawa Tengah juga terpaksa menghentikan produksi mereka karena naiknya harga bahan baku. Demikian juga, banyak pengusaha batik tradisional di Pekalongan (Jawa Tengah), dan ratusan pengusaha kecil sepatu di sejumlah sentra – sentra di Jakarta (PIK), Cibaduyut (Bandung), dan Medan terpaksa gulung tikar dan berubah profesi menjadi pedagang kecil atau kerja di sektor transportasi atau menjadi buruh bangunan.

Keterbatasan Teknologi
Berbeda dengan Negara – Negara maju, UKM di Indonesia umumnya masih menggunakan teknologi lama / tradisional dalam bentuk mesin – mesin tua atau alat – alat produksi yang sifatnya manual. Keterbelakangan teknologi ini tidak hanya membuat rendahnya total faktor productivity dan efisiensi di dalam proses produksi, tetapi juga rendahnya kualitas produk yang dibuat. Keterbatasan teknologi khususnya usaha – usaha rumah tangga (mikro), disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya keterbatasan modal investasi untuk membeli mesin – mesin baru atau untuk menyempurnakan proses produksi, keterbatasan informasi mengenai perkembangan teknologi atau mesin – mesin dan alat – alat produksi baru, dan keterbatasan SDM yang dapat mengoperasikan mesin – mesin baru atau melakukan inovasi – inovasi dalam produk maupun proses produksi. Rendahnya pemilikan / pengusaha teknologi modern juga merupakan suatu dalam era pasar bebas nanti. Padahal, di era tersebut, berbeda dengan 20 atau 30 tahun lalu, faktor teknologi bersama – sama dengan faktor SDM akan menjadi komparatif yang dimiliki Indonesia atau UKM pada khususnya selama ini, yaitu ketersediaan berbagai ragam bahan baku dalam jumlah yang berlimpah dan upah tenaga kerja yang murah akan semakin tidak penting di masa mendatang, diganti oleh dua faktor keunggulan kompetitif tersebut (teknologi dan SDM).[1]


B.     Bentuk Kelembagaan untuk Perumusan dan Implementasi Kebijaksanaan UKM.
Arah Kebijaksanaan UKM
Pada masa lampau, selama tahun 1970–an hingga pertengahan dekade 1980–an, perhatian pemerintah Indonesia ditujukan hanya kepada perkembangan UK (termasuk usaha mikro), tidak ada perhatian secara eksplisit diberikan kepada perkembangan UM. Pada waktu itu, kebijaksanaan UK dianggap sebagai satu bagian penting dari kebijaksanaan – kebijaksanaan yang menyangkut penciptaan kesempatan kerja dan pendapatan, penanggulangan kemiskman dan pembangunan ekonomi pedesaan. Akan tetapi, akhir – akhir ini, khususnya dalam menghadapi era perdagangan bebas yang mengharuskan adanya upaya – upaya peningkatan daya saing dan perekonomian nasional dan pemerintah menyadari bahwa di Indonesia jumlah UB tidak banyak. Sedangkan jumlah UK sangat besar tetapi tidak ada UM dalam yang besar dan kuat yang secara potensial dapat berfungsi sebagai penghubung antara UK dan UB (misalnya lewat subcontracting), pemerintah muiai punya kebijaksanaan UKM. Pernah sekali, seorang mantan Menteri Koperasi mengalakan sebagai berikut: "Kita harus punya suatu kebijaksanaan UKM yang bagus untuk memberdayakan UKM di dalam negeri yang secara potensial dapat memberi suatu kontribusi yang besar terhadap pembangunan dan pertumbuhan eskpor kita. Di antara UK, perhatian kita harus difokuskan kepada unit – unit usaha yang modern, sedangkan usaha – usaha mikro menjadi tanggung jawab dari Departemen Sosial yang dikaitkan dengan kebijaksanaan pengurangan kemiskman di tanah air". Menurut mantan Menteri tersebut, tujuan utama dan kebijaksanaan UKM adalah untuk menciptakan suatu lingkungan usaha yang kondusif untuk pembangunan dan peningkatan daya saing UKM dengan cara menghilangkan semua distorsi – distorsi pasar melalui deregulasi – deregulasi dan pengurangan beban – beban birokrasi.
Arab kebijaksanaan pengembangan UKM di Indonesia dinyatakan secara eksplisit di dalam Garis – garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1999 – 2004. Pedoman kebijaksanaan negara ini menggaris bawahi 28 butir mengenai arah kebijaksanaan pembangunan ekonomi nasional untuk periode tahun 1999 – 2004. Kerangka kerja kebijaksanaan terdiri dari tiga kebijaksanaan utama (Menegkop & UKM, 2000), yaitu:
(1)  Sistem ekonomi kerakyatan yang didasarkan pada mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi, keadilan, prioritas pada sosial), kualitas hidup, lingkkungan dan pembangunan berkelanjutan. Sistem ini menjamin  kesempatan – kesempatan bisnis dan kesempatan kerja yang sama, perlindungan konsumen dan perlakuan yang adil terhadap masyarakat. Di bawah kerangka kerja kebijaksanaan ini, memberdayakan KUKM rneniadi prioritas utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Usaha – usaha mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan dapat ditunjukkan dengan : (a) adanya suatu sistern persaingan yang adil yang menjamin kesempatan bisnis dan kerja yang sama, (b) peranan pemerintah yang efektif dalam menyempurnakan sistem pasar termasuk pengurangan pajak, (c) kebijaksanaan ekonomi yang menciptakan kesempatan berusaha bagi KUKM, (d) suatu pertumbuhan kemitraan usaha antar pengusaha UKM, dan (e) meningkatkan penerimaan positif dari masyarakat dalam bisnis dan peningkatan dalam penerimaan dari masyarakat.
(2)  Penciptaan iklim bisnis yang kondusif untuk memberdayakan KUKM
sehingga menjadi efisien, produktif dan kompetitif. Kebijaksanaan ini
bertujuan untuk menciptakan suatu mekanisme yang adil di mana KUKM bias mendapat keuntungan secara proporsional dan dapat bersaing secara adil dengan pemain – pemain bisnis lainnya. Pada dasarnya kebijaksanaan ini sejalan dengan kebijaksanaan – kebijaksanaan lainnya dari ekonomi makro, sekoral, dan pembangunan daerah, local yang secara bersama – sama memberikan dukungan komplementer untuk meningkatkan bisnis KUKM.
(3)  Kebijaksanaan peningkatan kapasitas KUKM yang bertujuan untuk membuat KUKM mampu bersaing di pasar bebas dengan pelaku – pelaku bisnis lainnya. Pada dasarnya, kebijaksanaan ini bertujuan untuk menghilangkan segala kendala yang dihadapi KUKM, seperti keterbatasan modal pasar dan input – input untuk berproduksi, kekurangan dalam kapabilitas manajemen, kekurangan pekerja dengan keahlian – keahlian teknis, bisnis, teknologi, dan keterbatasan akses ke informasi dan mitra usaha. GBHN tahun 1999 menekankan bahwa dukungan dari pemerintah terhadap penguatan KUKM harus dilaksanakan secara selektif dalam bentuk perlindungan terhadap persaingan yang tidak adil, peagembaagan DM lewat pendidikan dan pelatihan, diseminasi informasi mengenai bisnis dan teknologi, penyediaan finansial, lokasi usaha dan kemitraan usaha dengan BUMN dan perusahaan – perusahaan besar swasta, penyediaan fasilitas – fasilitas untuk agribisnis, IK dan IRT (handicrafts), penyempurnaan dan pembangunan kapasitas dari lembaga – lembaga lokal dan utilisasi SDA.

Namun demikian, dalam realitas, kebijaksanaan UKM (terutama UK masih lebih berorientasi kepada sosial daripada pasar atau persaingan. Kebijaksanaan UKM belum sepenuhnya terintegrasi dalam kebijaksanaan ekonomi umum / makro di Indonesia. Konsekuensinya, kebijaksanaan UKM di Indonesia tidak (belum) berfungsi sebagai elemen – elemen komplemen dan sektoral dari kebijaksanaan ekonomi seperti yang diharapkan. Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila sampai saat ini masih saja terjadi tumpang tindih antara kerja, pembangunan ekonomi dan masyarakat pedesaan, pemberdayaan perempuan dan pengurangan kemiskinan. Bahkan, di dalam Strategi Industri Nasional yang dirumuskan oleh Depperindag semasa pemerintahan Presiden Gus Dur, pentingnya dan peranan dari IKM dalam pembangunan atau usaha – usaha penyempurnaan daya saing dari industri nasional tidak dinyatakan secara eksplisit, tidak ada peranan spesifik yang diberikan kepada IKM, misalnya sebagai industri – industri pendukung yang memproduksi komponen – komponen, spare parts, mesin – mesin atau input – input lainnya untuk IB.

Walaupun dalam GHBN 1999, dinyatakan bahwa sistem ekonomi kerakyatan didasarkan pada “mekanisme pasar dengan suatu persaingan yang adil dan memperhatikan pertumbuhan ekonomi”, sistem ini masih lebih terfokus pada isu – isu seperti untuk “menjamin kesempatan bisnis dan kerja yang sama, perlindungan konsumen, dan suatu perlakuan yang adil terhadap masyarakat". Tidak dikatakan secara eksplisit di dalam GBHN tersebut misalnya seperti ini : "dalam menghadapi era perdagangan bebas dan globalisasi, ekonomi nasional harus diberdayakan atau daya saing dari ekonomi Indonesia harus ditingkatkan, dan untuk mencapai tujuan tersebut, UKM di dalam negeri harus diberdayakan atau dimodernisasikan dan produktivitas, efisiensi dan daya saingnya harus ditingkatkan". Oleh karena itu, penekanan utamanya harus pada pertanyaan bagaimana menyiapkan UKM di Indonesia dalam menghadapi era perdagangan bebas, dan sebagai sumber utama pertumbuhan ekonomi, bukan hanya sebagai sumber utama kesempatan berusaha bagi masyarakat.

Struktur Pemerintahan
Pada tingkat nasional
Di bawah Konstitusi  1945, Indonesia dipimpin oieh seorang presiden yang dipilih sekali lima tahun oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), yang termasuk parlemen dan  otoritas  tertinggi negara. Presiden  dapat  menunjuk anggota – anggota MPR dan membentuk kabinet dan sejumlah menteri yang terdiri dan beberapa menteri Negara (non departemen) dan menteri – menteri yang mengepalai departemen – departemen. Pelaksana pemerintah adalah Presiden dan kabinetnya sedangkan kekuasaan legislatif di Indonesia adalah di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan undang – undang yang berlaku, fungsi – fungsi utama dari MPR adalah memilih presides dan wakilnya, dan menetapkan konstitusi dan garis – garis besar dari kebijaksanaan pemerintah dan negara. Sedangkan fungsi – fungsi utama dari badan legislatif (DPR) adalah membuat, merubah, menyempurnakan atau menyetujui usulan peraturan – peraturan atau undang – undang, termasuk UU APBN berdasarkan usulan RAPBN dari Menteri Keuangan yang berkoordinasi dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) lewat Presiden dan membantu pelaksanaan dari undang – undang dan realisasi dari APBN dam kebijaksanaan pemerintah (lihat gambar .1) untuk memperlancar tugas – tugas tersebut, DPR membentuk 9 komisi adalah termasuk persiapaan, diskusi, dan penyempurnaan dari undang – undang yang diusulkan dalam bidangnya masing – masing, diskusi dan penyempumaan rencana APBN (RAPBN) yang diusulkan oleh pemerintah (kabinet), dan melakukan monitor dan evaluasi. Komisi – komisi ini secara rutin melakukan dengar pendapat / dialog dengan departemen – departemen maupun organisasi – organisasi non pemerintah seperti Kamar Dagang dan Industri (KADIN), asosiasi – asosiasi bisnis dan lain – Iain mengenai berbagai macam isu – isu aktual.
Kesembilan komisi – komisi tersebut, masing – masing dengan bidang / sektornya adalah sebagai berikut :           
Komisi 1    :  Pertahanan dan keamanan, hubungan luar negeri dan informasi
Komisi 2    :  Hukum, hak asasi manusia (HAM), dan masalah – masalah dalam negeri.
Komisi 3    :  Pertanian, kehutanan, dan kelautan (termasuk perikanan)
Komisi 4    :  Transportasi, pemukiman dan infrastruktur daerah
Komisi 5    :  Industri, perdagangan, koperasi, turisme         
Komisi 6    :  Agama dan pendidikan
Komisi 7    :  Kesehatan dan kesejahteraan sosial
Komisi 8    :  Energi, sumber daya mineral, penelitian dan teknologi, dan lingkungan
Komisi 9    :  Keuangan, perbankan, perencanaan pembangunan

Dalam hal eksekutif, struktur pemerintah secara garis besar dapat dibagi ke dalam tiga elemen utama : pembuatan kebijaksanaan dan koordinasi, manajemen dan pelaksanaan fungsi – fungsi oleh departemen – departemen perwakilan – perwakilan kunci yang bertanggung jawab untuk setiap elemen adalah sebagai berikut :
a.  Pembuat kebijaksanaan dan koordinasi
Kabinet terdiri dari sejumlah menteri yang memiliki kontrol secara keseluruhan dari pemerintah, memimpin dan mengkoordinasi departemen – departemen dan badan – badan dan menentukan kebijaksanaan – kebijaksaan pemerintah.
b.Manajemen
Menten keuangan adalah manajemen kunci dari pemerintah dan bertanggung jawab atas perumusan strategi ekonomi, kebijaksanaan fiskal (pendapatan pemerintah), anggaran nasionanl (APBN), manajemen BUMN. dan pengembangan lembaga – lembaga keuangan. Seperti di Negara – Negara lain. Kekuasaan atas sumber daya finansial yang dimiliki oleh Menteri Keuangan membuatnya sebagai menteri yang paling berkuasa di Indonesia. Pada tahun 1997, bank sentral dari Indonesia (Bank Indonesia, BI) dibuat independen dari pemerintah, jadi posisi BI adalah di luar kabinet. BI mempunyai tanggung jawab terhadap kebijaksanaan moneter, termasuk kebijaksanaan nilai tukar rupiah, dan pencapaian target – target inflasi yang ditetapkan oleh BI sendiri.
c.   Departemen – departemen
Departemen – departemen pemerintah (umum disebut departemen teknis) secara tradisional adalah motor utama untuk membuat menjalankan dan mengefektifkan kebijaksanaan pemerintah dan dibiayai oleh Menteri Keuangan, atas persetujuan oleh Parlemen (DPR). Departemen – departemen biasanya punya satu hierarki pimpinan, dan dikepalai oleh seorang menteri yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
d.   Menteri – menteri Negara
Kementrian – kementrian non departemen yang dikenal dengan sebutan Menteri Negara tidak mengepalai suatu departemen. Mereka adalah asisten – asisten dari Presiden yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Tugas utama mereka adalah untuk membantu Presiden dalam merumuskan kebijaksanaan – kebijaksanaan di bidang – bidang tertentu kegiatan – kegiatan pemerintahan negara.
e.   Badan badan pelaksana
Seperti di banyak Negara – Negara lain, badan – badan pelaksana dibentuk untuk mematahkan struktur pemerintah yang kaku, yang susah digunakan, ke dalam unit – unit yang berdiri bebas dan lebih fleksibel, dan untuk memisahkan pemberian layanan dan implementasi fungsi – fungsi dari departemen – departemen dan tanggung jawab – tanggung jawab utama dari pembuatan kebijaksanaan dan strategi. Badan – badan tersebut adalah seperti BAPPENAS, BPS (Biro Pusat Statistik), BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal), dan LAN (Lembaga Administrasi Negara).

Pada Tingkat Regional
Indonesia dibagi dalam lebih dari 30 propinsi, dan setiap propinsi dikelola oleh seorang Gubernur dan suatu badan pembuat undang – undang di tingkat regional, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), yang mana anggota – anggotanya dipilih melalui pemilihan umum, yang memilih gubernur atas persetujuan presiden. Di antara propinsi – propinsi, ada lebih dan 200 kabupaten dan lebih dari 55 kotamadya atau kota, dikepalai masing – masing oleh Bupati. Dan walikota. Pada tingkat lebih rendah, ada banyak kecamatan dan desa. Setiap pemerintah – pemerintah propinsi, kabupaten dan kota mengatur dan mengelola urusan – urusan keperintahan mereka sesuai prinsip – prinsip dari otonomi. Gubernur, Bupati, dan Walikota dipilih secara demokrasi.
Dalam hal legislatif, berdasarkan UU No. 22/1999, Bupati / Walikota ditentukan oleh DPRD Kabupaten / kota dan harus disetujui oleh Presiden, Bupati / Walikota bertanggung jawab kepada DPRD : Setiap macam kebijaksanaan daerah yang dikeluarkan oleh Bupati / walikota harus disetujui oleh DPRD. Oleh karena itu, peranan DPRD adalah untuk mengawasi pelaksanaan dari undang – undang / peraturan – peraturan daerah yang disetujuinya.[2]

C.    Petunjuk Teknis Perkuatan Business Development Service Dalam Pengembangan Sentra Usaha Kecil Menengah.
PERATURAN
MENTERI NEGARA KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 02/Per/M.KUKM/I/20082007
TENTANG
PEDOMAN
PEMBERDAYAAN BUSINESS DEVELOPMENT SERVICES-PROVIDER (BDS-P)
UNTUK PENGEMBANGAN KOPERASI, USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH (KUMKM)
BAB I
                  KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1.      Business Development Services/Layanan Pengembangan Bisnis (BDS/LPB) adalah kegiatan pemberian layanan (jasa) pengembangan bisnis, untuk meningkatkan kinerja KUMKM.
2.      Business Development Services–Provider (BDS-P) adalah lembaga yang memiliki kompetensi dan kemampuan untuk melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis KUMKM.
3.      Business Development Services-Provider Unggulan (BDS-P Unggulan) adalah BDS-P yang dinilai memiliki kinerja (prestasi) lebih menonjol dalam pengembangan bisnis KUMKM.
4.      Usaha Kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria sebagaimana diatur menurut undang-undang tentang Usaha Kecil.
5.      Usaha Menengah adalah kegiatan ekonomi yang berskala menengah dan memenuhi kriteria sebagaimana diatur menurut Instruksi Presiden tentang Pemberdayaan Usaha Menengah.
6.      Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang/seorang atau badan hukum Koperasi yang melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan, sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Perkoperasian.
7.      Pemberdayaan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat dalam bentuk penumbuhan iklim usaha, pembinaan dan pengembangan sehingga Usaha Kecil mampu menumbuhkan dan memperkuat dirinya menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
8.      Pembinaan dan Pengembangan adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat melalui pemberian bimbingan dan bantuan perkuatan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan Usaha Kecil agar menjadi usaha yang tangguh dan mandiri, sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Usaha Kecil.
9.      Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen atau pelaku usaha sebagaimana diatur menurut Undang-undang tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha tidak sehat.
10.  Sentra UKM adalah pusat kegiatan bisnis di kawasan/lokasi tertentu dimana terdapat UKM yang menggunakan bahan baku/sarana yang sama, menghasilkan produk yang sama/sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi bagian integral dari klaster dan sebagai titik masuk (entry point) dari upaya pengembangan klaster. 

1.      Konsultan KUMKM adalah seorang tenaga profesional yang menyediakan jasa nasehat ahli, dalam bidang keahlian tertentu menurut fungsi dan/atau bidang/sektor usaha tertentu, misal akuntansi, hukum, usaha perikanan, peternakan, manufakturing, dll.
2.      Pendamping KUMKM adalah orang/lembaga yang menjalin relasi dengan KUMKM dalam rangka memperkuat dukungan, memotivasi, memfasilitasi dan menjembatani kebutuhan untuk pemberdayaan KUMKM.
3.      Standar Kompetensi Kerja adalah alat ukur minimal yang harus dimiliki oleh seorang pendamping/penyuluh/konsultan untuk menganalisa uraian tugasnya dalam rangka membina dan mengembangkan usaha KUMKM.
4.      Sertifikasi Kerja adalah proses pemberian sertifikat kompetensi yang dilakukan secara sistematis dan obyektif melalui uji kompetensi yang mengacu kepada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia dan/atau internasional.
5.      Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
6.      Kelompok Kerja (Pokja) pemberdayaan BDS-P adalah organisasi ex-officio di tingkat pusat dan daerah, untuk melakukan tugas dan tanggung jawab khusus dalam penyelenggaraan pemberdayaan BDS-P bagi Pengembangan KUMKM, yang organisasi dan tugasnya diatur dalam peraturan ini.
7.      Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi.
8.      Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

Bagian Kedua
Tujuan dan Sasaran
Pasal 2
(1) Tujuan Pemberdayaan BDS-P :
a. meningkatkan kemampuan BDS-P dalam melakukan layanan pengembangan bisnis sesuai kebutuhan KUMKM;
b. meningkatkan kinerja bisnis KUMKM yang memperoleh layanan pengembangan bisnis.
(2) Sasaran Pemberdayaan BDS-P :
a. meningkatnya jumlah dan kualitas BDS-P yang profesional dan BDS-P unggulan;
b. meningkatnya jumlah dan kualitas tenaga konsultan/pendamping KUMKM pada BDS-P;
c. meningkatnya jumlah dan kinerja bisnis KUMKM, termasuk penumbuhan usaha baru;
d. meningkatnya peran aktif Pemerintah, Pemerintah Provinsi/DI, Pemerintah Kabupaten/Kota, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan pihak-pihak terkait lainnya, dalam memberdayakan BDS-P untuk pengembangan KUMKM di daerah.
Bagian Ketiga
Fungsi dan Tugas Pokok BDS-P
Pasal 3
(1) BDS-P berfungsi sebagai lembaga penyedia layanan pengembangan bisnis sesuai dengan kebutuhan KUMKM.
(2) BDS-P mempunyai tugas pokok :
a. bimbingan-konsultasi layanan pengembangan bisnis;
b. pendampingan bisnis;
c. memfasilitasi akses terhadap sumber daya produktif antara lain: modal, pasar, teknologi, manajemen dan informasi.
(3) Pemberian layanan pengembangan bisnis kepada KUMKM sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dilakukan sesuai dengan kebutuhan, dan dapat berupa antara lain, identifikasi potensi dan permasalahan bisnis, bimbingan pengembangan rencana bisnis, kemitraan dan kebutuhan pengembangan bisnis lainnya.

Bagian Keempat
Kelembagaan BDS-P
Pasal 4
Pelaksanaan fungsi dan tugas layanan pengembangan bisnis KUMKM sebagaimana dimaksud pada pasal 3, dapat dilaksanakan oleh :
a perorangan oleh tenaga ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUMKM secara perseorangan dalam wadah BDS-P;
b lembaga BDS-P dalam bentuk antara lain, yayasan, perseroan terbatas, koperasi, perguruan tinggi dan organisasi kemasyarakatan.

BAB II
Bagian Kesatu
Kegiatan Pemberdayaan BDS-P
Pasal 5
Kegiatan pemberdayaan BDS-P meliputi :
a. penciptaan iklim usaha antara lain, koordinasi dan pengembangan kebijakan di bidang layanan pengembangan bisnis;
b. pembinaan dan pengembangan antara lain, pengembangan standar kompetensi, sertifikasi, peningkatan kualitas tenaga ahli/tenaga konsultan/tenaga pendamping KUMKM, dukungan insentif, serta monitoring dan evaluasi;
Bagian Kedua
Pengembangan BDS-P Unggulan
Pasal 6
(1) Secara selektif BDS-P diarahkan untuk tumbuh menjadi BDS-P unggulan, yang mampu mendorong pengembangan UKM sentra dan/atau UKM lainnya.
(2) BDS-P unggulan memiliki kriteria umum yaitu profesional, mandiri dan memiliki jaringan kerjasama usaha.
(3) BDS-P unggulan didorong dan difasilitasi untuk mampu melakukan layanan pengembangan bisnis secara produktif bagi kemanfaatan KUMKM, dan dapat menjadi penghela bagi BDS-P lainnya.

Bagian ketiga
Fasilitasi Program
Pasal 7
(1) BDS-P yang aktif melakukan kegiatan layanan pengembangan bisnis dan kinerjanya dinilai baik, dapat memperoleh dukungan dan fasilitasi dari Pemerintah, Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi dan Dunia Usaha.
(2) Dukungan dan fasilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari APBN/APBD dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat, sesuai dengan kewajaran, kepatutan dan kemampuan keuangan negara.
(3) BDS-P dapat memperoleh pendapatan (fee) jasa layanan pengembangan bisnis dari KUMKM yang dibina.

BAB III
ORGANISASI PELAKSANAAN
Organisasi Penyelenggara
Pasal 8
(1) Organsiasi penyelenggara pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan KUMKM terdiri dari :
a. organisasi penyelenggara tingkat Pemerintah Pusat Cq. Kementerian Negara Koperasi dan UKM, dilaksanakan oleh Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha;
b. organisasi penyelenggara tingkat Pemerintah Daerah Cq. Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi/Kabupaten/Kota.
(2) Dalam rangka koordinasi Pemberdayaan BDS-P, dapat dibentuk :
a. Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat pusat, beranggotakan unsur Kementerian Negara Koperasi dan UKM dan instansi pemerintah terkait, ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah dan/atau Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha, dengan tugas antara lain :

1) merumuskan kebijakan pemberdayaan BDS-P tingkat nasional
2) melakukan koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pusat dan Daerah;
3) melakukan pengembangan parameter-parameter standar bagi peningkatan kemampuan BDS-P, sosialisasi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan pemberdayaan BDS-P;
4) menyusun dan melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P, kepada Menteri Negara Koperasi dan UKM,
b. Kelompok Kerja (Pokja) di tingkat Daerah beranggotakan unsur Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Dunia Usaha dan Organisasi Kemasyarakatan, ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota, dengan tugas antara lain :
1) merumuskan kebijakan dan program pemberdayaan BDS-P di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota;
2) melakukan koordinasi pemberdayaan BDS-P antara Pemerintah Daerah, Dunia Usaha dan Perguruan Tinggi;
3) mendorong Perguruan Tinggi berperan antara lain, mengembangkan inovasi, perluasan akses Teknologi Tepat Guna, pengembangan modul dan perangkat lunak layanan pengembangan bisnis bagi KUMKM;
4) mendorong Dunia Usaha berperan antara lain, memfasilitasi perluasan jaringan usaha dan kemitraan.
5) melakukan sosialisasi, pembinaan-pengembangan, monitoring dan evaluasi kinerja BDS-P;
6) menyusun dan melaporkan pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P kepada Gubernur, Bupati/Walikota.

BAB IV
MONITORING DAN EVALUASI
Pasal 9
Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan program pemberdayaan BDS-P untuk pengembangan KUMKM, perlu dilakukan monitoring dan evaluasi secara periodik sebagai berikut :
a. BDS-P menyampaikan laporan perkembangan layanan bisnis kepada Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Kabupaten/Kota, Provinsi, berisi :
1) perkembangan organisasi dan kelembagaan;
2) pelaksanaan kegiatan layanan pengembangan bisnis kepada UKM;
3) perkembangan kinerja UKM binaan BDS-P.
b. Dinas/Badan yang membidangi Koperasi dan UKM Provinsi menyampaikan laporan perkembangan BDS-P kepada Kementerian Negara Koperasi dan UKM Cq. Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha;

c. Deputi Menteri Negara Bidang Pengembangan dan Restrukturisasi Usaha menyampaikan laporan perkembangan BDS-P kepada Menteri Negara Koperasi dan UKM. [3]




[1] Drs. Sudrajad, MM.,Modul 5 : Pembinaan dan Pengembangan UKM, Universitas Mercubuana di http://kk.mercubuana.ac.id diakses tanggal 18 desember 2012 pukul 12:30 WIB
[2] Drs. Sudrajad, MM.,Modul 6 : Pembinaan Kewirausahaan, Universitas Mercubuana di http://kk.mercubuana.ac.id diakses tanggal 18 desember 2012 pukul 12:30 WIB.

[3] Fatwa Mahkamah konstitusi tahun 2008