Rabu, 17 Oktober 2012

MAKALAH kEUANGAN SYARIAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menabung merupakan aktifitas yang dilakukan oleh manusia sebagai upaya untuk menyimpan uangnya agar aman. Zaman dahulu manusia menabung di bawah bantal, di bawah kasur, ataupun diletakkan di salah satu sudut bagian rumah. Perkembangan peradaban manusia membawa jalan pikiran manusia untuk membuat aktivitas menabung berpindah tempat tidak lagi hanya di lingkungan rumah, namun telah berpindah ke sebuah lembaga yang di anggap berpotensi untuk menjaga uangnya agar aman. Lembaga tersebut biasa dikenal oleh masyarakat sekarang ini dengan sebutan bank. Perbankan syari’ah dalam peistilahan internasional dikenal sebagai Islamic Banking atau juga diesebut dengan interest-free banking. Peristilahan dengan menggunakan kata Islamic tidak dapat dilepaskan dari asal-usul sistem perbankan syari’ah itu sendiri. Bank syari’ah pada awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok ekonom dan praktisi perbankan Muslim yang berupaya mengakomodasi desakan dari berbagai pihak yang menginginkan agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai moral dan prinsip-prinsip syari’ah Islam. Utamanya adalah berkaitan dengan pelarangan praktek riba, kegiatan maisir (spekulasi), dan gharar (ketidakjelasan). Belakangan ini bank syari’ah menjadi incaran bagi para pelaku bisnis perbankan. Hal ini terjadi, karena dari sisi ekonomi keberadaan bank syari’ah ini memberikan nilai lebih dibandingkan dengan bank konvensional. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dalam makalah ini akan menjelaskan tentang manajemen bank syari’ah. 1.2. Tujuan Penulisan a. Mengetahui dan memahami sistem bank syariah b. Mengetahui pelaksaan manajeman bank syariah c. Memahami pentingnya sistem syariah di lembaga keuangan 1.3. Perumusan Masalah a. Apa peranan bank syariah? b. Apakah Bunga bank = Riba ? c. Perbedaan sistem bunga dengan sistem bagi hasil? d. Bagaimana pola manajemen syari’ah? e. Bagaimana kunci sukses dan strategi manajemen bank syari’ah? BAB II PEMBAHASAN 2.1. Pengertian Bank Syari’ah Bank Islam atau selanjutnya disebut dengan Bank Syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank Tanpa Bunga adalah lembaga keuangan/perbankan yang beroperasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al-Quran dan Hadist Nabi SAW. Atau dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiaannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Antonio dan Perwataatmadja membedakan menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syari’ah Islam. Bank Islam adalah (1) bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah Islam, (2) bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Quran dan Hadist. Bank adalah lembaga perantara keuangan atau biasa disebut financial intermediary. Artinya, lembaga bank adalah lembaga yang dalam aktivitasnya berkaitan dengan masalah uang. Kegiatan dan usaha bank akan selalu terkait dengan komoditas, antara lain : 1. Memindahkan uang 2. Menerima dan membayarkan kembali uang dalam rekening koran 3. Mendiskonto surat wesel, surat order, maupun surat berharga lainnya 4. Membeli dan menjual surat-surat berharga 5. Membeli dan menjual cek, surat wesel, kertas dagang 6. Memberi jaminan bank Untuk menghindari pengoperasian bank dengan sistem bunga, Islam memperkenalkan prinsip-prinsip muamalah Islam. Dengan kata lain, Bank Syari’ah lahir sebagai salah satu solusi alternatif terhadap persoalan pertentangan antara bunga bank dengan riba. Bank Islam lahir di Indonesia, yang gencarnya pada sekitar tahun 90-an atau tepatnya setelah ada Undang-Undang No.7 tahun 1992, yang direvisi dengan Undang-Undang Perbankan No.10 tahun 1998 dalam bentuk sebuah bank yang beroperasinya dengan sistem bagi hasil atau bank syari’ah. 2.2. Peranan Bank Syari’ah Adanya Bank Islam (Bank Syari’ah) diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayan-pembiayan yang dikeluarkan oleh Bank Islam. Melalui pembiayaan ini Bank Syari’ah dapat menjadi mitra dengan nasabah, sehingga hubungan Bank Islam dengan nasanah tidak sebagai kreditur dan debitur tetapi menjadi hubungan kemitraan. Secara khusus peranan Bank syari’ah secara nyata dapat terwujud dalam aspek-aspek berikut: a. Menjadi perekat nasionalisme baru. Artinya, bank syari’ah dapat menjadi fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan. b. Memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya, pengelolan bank syari’ah harus didasarkan pada visi ekonomi kerakyatan, dan upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang transparan. c. Memberikan return yang lebih baik. Artinya, investasi di bank syari’ah tidak member janji yang pasti mengenai return (keuntungan) yang diberikan kepada investor. d. Mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank syari’ah mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan demikian spekulasi dapat ditekan. e. Mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, bank syari’ah bukan hanya mengumpulkan dana pihak ketiga, namun dapat mengumpulkan dana Zakat, Infaq dan Shadaqah (ZIS). f. Peningkatan efisiensi mobilisaasi dana. Artinya, adanya produk al-mudharabah al-muqayyah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas dana yang diserahkan oleh investor, maka bank syari’ah sebagai financial arranger, bank memperoleh komisi atau bagi hasil, bukan karena spread bunga. 2.3. Riba, Keuangan dan Bunga Bank Secara lekssikal, bunga sebagai terjemahan dari kata interest. Secara istilah sebagaimana diungkapkan dalam suatu kamus dinyatakan, bahwa “interest is a charge for a financial loan, usually a percentage of the amount loaned”. Bunga adalah tanggungan pada pinjaman uang, yang biasanya dinyatakan dengan persentase dari uang yang dipinjamkan. Kata riba = ziyadah berarti : bertumbuh, menambah atau berlebih. Al-Riba atau ar-Rima makna asalnya ialah tambah, tumbuh dan subur. Adapun pengertian tambah dalam konteks riba ialah tambahan uang atas modal yang diperoleh dengan cara yang tidak dibenarkan syara, apakah tambahan itu berjumlah sedikit maupun berjumlah banyak seperti yang diisyaratkan dalam Al-Quran. Sementara para ulama fikih mendefinisikan riba dengan “kelebihan harta dalam suatu muamalah dengan tidak ada imbalan/gantinya”. Maksud dari pernyataan ini adalah tambahan terhadap modal uang yang timbul akibat transaksi utang piutang yang harus diberikan terutang kepada pemilik uang pada saat utang jatuh tempo. Allah telah menurunkan larangan memakan riba secara bertahap untuk mengurangi kesengsaraan masyarakat, larangan tersebut adalah : a. Perintah berawal dari Allah adalah sekedar mengingatkan manusia bahwa riba itu tidak akan menambah kekayaan individu maupun negara, namun mengurangi kekayaan (Ar-Rum :39). b. Perintah kedua melarang umat Islam mengambil bunga sekiranya mereka menginginkan kebahagiaan yang hakiki, ketenangan pikiran dan kejayaan hidup (An-Nisa :160-1). c. Peraturan pertama yang melarang kaum Muslim memakan riba. Selain itu, ayat ini juga menjelaskan bahwa sifat umum riba adalah berlipat ganda (Ali-Imran :130). d. Seterusnya setengah orang mulanya mencampuradukkan jual beli dengan kegiatan riba. Bagi mereka tidak ada perbedaan antara keduanya. (Al-Baqarah :275-276). 2.4. Perbedaan Sistem Bunga dengan Sistem Bagi Hasil Hal mendasar yang membedakan antara lembaga keuangan non Syari’ah dan Syari’ah adalah terletak pada pengembalian dan pembagian keuntungan yang diberikan oleh nasabah kepada lembaga keuangan dan atau yang diberikan oleh lembaga keuangan kepada nasabah. Oleh karena itu, muncullah istilah bunga dan bagi hasil. Perbedaan Sistem Bunga dengan Sistem Bagi Hasil Hal Sistem Bunga Sistem Bagi Hasil Penentuan besarnya hasil Sebelumnya Sesudah berusaha, sesudah ada untungnya Yang ditentukan sebelumnya Bunga, besarnya nilai rupiah Menyepakati proporsi pembagian untung untuk masing-masing pihak, misalnya 50:50, 40:60, 35:65 Jika terjadi kerugian Ditanggung nasabah saja Ditanggung kedua pihak, Nasabah dan Lembaga Dihitung dari mana? Dari dana yang dipinjamkan, fixed, tetap Dari untung yang bakal diperoleh, belum tentu besarnya Titik perhatian proyek/usaha Besarnya bunga yang harus dibayar nasabah atau pasti diterima bank Keberhasilan proyek atau usaha jadi perhatian bersama (Nasabah dan Lembaga) Berapa besarnya? Pasti: (%) kali jumlah pinjaman yang telah diketahui Proporsi (%) kali jumlah untung yang belum diketahui = belum diketahui Status hukum Berlawanan dengan QS Luqman : 34 Melaksanakan QS Luqman : 34 2.5. Faktor yang Mempengaruhi Bagi Hasil di Bank Syari’ah Kontrak mudharobah adalah suatu kontrak yang dilakukan oleh minimal dua pihak. Tujuan utama kontrak ini adalah memperoleh hasil investasi. Besar kecilnya hasil investasi, dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor pengaruh tersebut ada yang berdampak langsung dan ada yang tidak langsung. a. Faktor langsung Di antara faktor-faktor langsung yang mempengaruhi perhitungan bagi hasil adalah investment rate, jumlah dana yang tersedia, dan nisbah bagi hasil (profit sharing ratio). • Investment rate merupakan persentase aktual dana yang diinvestasikan dari total dana. • Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestasikan. • Nisbah  Salah satu ciri al-mudharobah adalah nisbah yang harus di tentukan dan disetujui pada awal perjanjian.  Nisbah antara satu bank dengan bank lainnya dapat berbeda.  Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu bank.  Nisbah juga dapat berbeda antara satu account dengan account lainnya sesuai dengan besarnya dana dan jatuh temponya. b. Faktor tidak langsung • Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah  Bank dan nasbah melakukan share dalam pendapatan dan biaya. Pendapatan yang dibagik-bagikan merupakan pendapatan yang diterima dikurangi biaya-biaya.  Jika semua biaya ditanggung bank, maka hal ini disebut revenue sharing. • Kebijakan akunting (prinsip dna metode akuntansi) Bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktifitas yang diterapkan, terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya. 2.6. Konsep Dasar Operasional Sistem Syariah Kerangka kegiatan Muamalat secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian besar, yaitu politik, social, dan ekonomi. Dari ekonomi dapat diambil menjadi tiga turunan lagi yaitu, konsumsi, simpanan dan investasi. Islam mengajarkan pola konsumsi yang moderat, tidak berlebihan tidak juga keterlaluan. Dengan tegas di Al-qur’an surat Al-Isra ayat 17 melarang terjadinya perbuatan tabzir (pemboroson), “Sesungguhnya orang-orang yang melakukan itu adalah saudara-saudara syaitan”. Doktrin Al-qur’an ini secara ekonomi dapat diartikan mendorong terpupuknya surplus konsumen dalam bentuk simpanan, untuk dihimpun, kemudian dipergunakan dalam membiayai investasi, baik untuk perdagangan (trade), produk (manufacture) dan jasa (service). Kehadiran lembaga keungan mutlak adanya karena ia bertindak sebagai intermediate antara unit supplay dengan unit demand. Siklus antara pola komsumsi, simpanan, investasi dan lembaga keuangan ini dapat digambar dalam gambar 1.1. Gambar 1.1 Siklus keterkaitan antara pola konsumsi, simpanan, investasi dan lembaga keuangan 2.6.1. Prinsip-prinsip Dasar Operasional Bank Syari’ah Prinsip-prinsip dasar operasional bank syari’ah adalah sebagai berikut: a. Prinsip Simpanan Murni (al-Wadi’ah) Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana untuk menyimpan dananya dalam bentuk al-Wadiah. b. Bagi hasil (syirkah) Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha ini dapat terjadi antar bank dengan penyimpanan dana, maupun antara bank dengan nasabah penerima dana. c. Prinsip Jual Beli (at-Tijarah) Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli, dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan. d. Prinsip Sewa (al-Ijarah) Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada dua jenis, yaitu yang pertama Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat produk lainnya. Yang kedua Bai’al takjiri merupkan penggabungan sewa dan beli, diman si penyewa memunyai hak untuk memliki barang pada akhirnya masa sewa. e. Prinsip Jasa/fee (al-Ajr walumullah) Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayan yang diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi, kliring, Jasa dan lain-lain. 2.7. Manajemen dalam Islam Manajemen dalam bahasa Arab disebut dengan idarah. Idarah diambil dari perkataan adartasy-syai’a atau perkataan adarta bihi juga dapat didasarkan pada kata ad-dauran. Secara istilah idarah (manajemen) adalah suatu aktifitas khusus menyangkut kepemimpinan, pengarahan, pengembangan personal, perencanaan, dan pengawasan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang berkenaan dengan unsur-unsur pokok dalam suatu proyek. Tujuannya adalah agar hasil-hasil yang ditargetkan dapat tercapai dengan cara yang efektif dan efisien. 2.7.1. Prinsip Manajemen dalam Islam Beberapa prinsip atau kaidah dan teknik manajemen yang ada relevansinya dengan Al-Quran atau Al-Hadits antara lain sebagai berikut: a. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar Setiap muslim wajib melakukan perbuatan yang ma’ruf, yaitu perbuatan yang baik dan terpuji. Sedangkan perbuatan munkar, seperti korupsi, suap, dan lain-lain. Menyeru kepada kebajikan (amar ma’ruf) dan mencegah kemunkaran (nahi munkar) adalah wajib sebagaimana firman Allah SWT: “Hendaklah ada diantara kamu umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah perbuatan keji”. (QS Ali Imran (03):104) Untuk melaksanakan prinsip tersebut, ilmu manajemen harus dipelajari dan dilaksanakan secara sehat, baik secara bijak maupun secara ilmiah. b. Kewajiban Menegakkan Kebenaran c. Kewajiban Menegakkan Keadilan d. Kewajiban Menegakkan Amanah 2.7.2. Tujuan Manajemen Syariah Semua organisasi, baik yang berbentuk badan usaha swasta, badan yang bersifat publik ataupun lembaga-lembaga social masyarakat tertentu mempunyai suatu tujuan sendiri-sendiri yang merupakan motivasi dari pendiriannya. Manajemen di dalam suatu badan usaha, baik industry, niaga dan jasa, tidak terkecuali jasa perbankan, didorong oleh motif mendapatkan keuntungan. Untuk mendapat keuntungan yang besar manajemen haruslah diselenggarakan dengan efisien. Sikap ini harus dimiliki oleh setiap pengusaha dan manajer di manapun mereka berada. 2.8. Strategi dan Kunci Sukses Manajemen Syari’ah Tahun 2002 merupakan tahun ke sepuluh berdirinya Bank Syari’ah di Indonesia, utamanya Bank Muamalat Indonesia ( BMI ). Dalam usia yang kesepuluh BMI ini tentunya dapat dijadikan pijakan dalam mengevaluasi dan memposisikan keberadaan bank syari’ah. Perkembangan Bank Syari’ah di Indonesia mulai membaik secara kuantitas sejak adanya perubahan Undang-Undang Perbankan No.7 Tahun 1992 menjadi Undang-undang No. 10 tahun 1998. Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, pokok-pokok ketentuan tersebut memuat antara lain : a. Kegiatan usaha dan produk-produk bank berdasarkan prinsip syari’ah b. Pembentukan dan tugas pokok Dewan pengawas Syari’ah c. Persyaratan bagi pembukaaan kantor cabang yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah Memasuki tahun 2002 bank umum di Indonesia yang melakukan kegiatan operasional dengan prinsip syari’ah, di antaranya: Bank Muamalah Indonesia, Bank IFI, Bank BNI Syari’ah, Bank Mandiri Syari’ah, Bank BRI Syari’ah. Dan dimungkinkan akan bermunculan konversi bank konvesional ke bank syari’ah. Peranan perbankan syari’ah dalam mobilisasi dana dan penyaluran pembiayaan walaupun masih kecil, namun mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan adanya peningkatan volume penyaluran pembiayaan dari Rp 455 Milyar pada tahun 1998 menjadi Rp 472 miyar pada tahun 1999 dan pada saat bersamaan penyaluran kredit oleh perbankan konvensional menurun dari Rp 545 trilyun menjadi Rp 227 trilyun. Memang tidak adil untuk membandingkan antara bank syari’ah dengan bank konvensional. Sebab, bank konvensional telah berdiri sejak sebelum negeri Indonesia ini ada, sementara bank syari’ah di Indonesia baru berawal pada tahun 1992. Pemberian fasilitas oleh pemerintah juga menjadi faktor, terkait dengan situasi krisis, hampir semua bank konvensional pernah mendapatkan dana rekapitalisasi dari pemerintah dalam hal penyehatan modalnya, sementara bank syari’ah tidak pernah. 2.8.1. Strategi Pengembangan Bank Syari’ah Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mengembangkan bank syari’ah dalam memberdayakan ekonomi umat, yaitu : a. Strategi Pengembangan: Islamic Full Branch Di Indonesia dengan menggunakan sistem Islamic Full Branch, yaitu suatu cabang penuh menerapkan sistem syari’ah. Dengan ciri-ciri sebagai berikut, cabang menerapkan sistem syari’ah secara penuh. Pembukaannya secara terpisah dengan kantor induk Bank Induk masih konvensional harus menyisihkan sejumlah modal untuk unit usaha syari’ah (UUS). Sistem ini seperti yang diterapkan di Arab Saudi. Contoh Bank penerap Sistem Islamic Full Branch: Bank IFI, Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah. b. Strategi Pengelolaan: Pembiayaan Para pengusaha kecil lebih mendambakan sistem pembiayaan dengan sistem bagi hasil, karena dirasa leih sesuai dengan siklus bisnis usaha menengah kecil c. Strategi Pengelolaan : Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat tentang bank syari’ah masih keliru. Implikasi kekeliruan persepsi pertama berdampak pada pemahaman bahwa : • Bank Syari’ah tidak boleh meminta jaminan dalam memberikan pembiayaan • Bank Syari’ah tidak mengenakan denda bila nasabah tidak membayar tepat pada waktunya • Bank Syari’ah tidak boleh menyita jaminan Kemudian implikasi dari kekeliruan persepsi kedua, memberikan efek atas pandangan masyarakat tentang bank syari’ah sebagai berikut : • Bagi hasil yang diberikan bank kepada nasabah harus lebih besar jika dibandingkan dengan bunga dari bank konvensional, sehingga bagi hasil nasabah pembiayaan harus lebih kecil dari pada bunga • Bank akan turut memiliki perusahaan nasabah • Bank akan turut campur dalam manajemen perusahaan nasabah • Bagi hasil dibayar setahun sekali, seperti waktu pembayaran deviden 2.8.2 Kunci Sukses Pengelolaan Bank Islam Beberapa hal yang perlu diperhatikan para pengelolaan Bank Islam dalam mencapai sukses pengelolaan adalah memperhatikan hal berikut: a. Misi bank Syari’ah Kehadiran lembaga keuangan syari’ah di persada ini memiliki misi khusus. Misi yang paling utama adalah misi sosial dan bisnis. Berkaitan dengan ini, lembaga keuangan Syari’ah, khsusunya Bank Islam, di samping membawa misi juga sekaligus membawa beban yang membuatnya harus dikelola secara ketat. Dalam seluruh operasinya Bank Islam diawasi secara ketat. Para pengelola Bank Islam harus menaruhkan jiwa dan raganya untuk dunia dan akhirat. Bank Syari’ah membawa misi keadilan, maka untuk dapat menjalani usaha yang halal harus diawasi oleh Dewan Pengawas Syari’at. Pengelolaan Bank syari’ah memang lebih rawan dibandingkan perbankan konvensial, ada dua hal dalam ini: • Harus ditumbuhkan tekad yang kuat dari para pengelolanya dalam mengemban dan menjadikan berhasilnya pelaksanaan misi. • Dalam pengelolaan Bank Syari’ah perlu dicarikan orang-orang atau sumber daya yang memang betul-betul profesional. b. Sifat Istiqomah Masalah utama keberhasilan Bank Islam terletak pada kesiapan nasabah menerima bagi hasil yang rendah atau tanpa imbalan sama sekali pada tahap awal operasional Bank Islam. Di sinilah diperlukan nasabah-nasabah yang istiqomah terhadap praktik perbankan syari’ah. Perlu dipahami, bahwa pada tahap awal, khususnya pada masa 3 bulan pertama kondisi masih zero. Sebab pada tahap ini Bank Islam memulai dengan modal saja, tanpa tabungan. Setelah kira-kira 6 bulan, Bank Islam baru mendapatkan tabungan. Dalam kondisi ini, para pengelola juga harus istiqomah. Artinya , mereka harus mau menerima gaji yang mungkin lebih rendah daripada gajinya yang dulu. c. Memperhatikan Likuiditas Persoalan likuiditas tidak hanya persoalan Bank Islam saja, namun BPR dan bank umum akan mengalaminya.Persoalan yang muncul adalah bagaimana caranya agar likuiditas bank tetap terjaga. Bagi Bank Islam dalam menjaga likuiditas ini sebenarnya ada kiat-kiat jitu untuk mengamankan likuiditas. Paling sedikit ada dua kiat untuk hal likuiditas, yaitu : • Penggalangan umat Di sini kuncinya adalah kekompakan tiga komponen pengurus, yaitu : Direksi, Komisaris dan Dewan Syari’ah. Jika ketiganya kompak, maka masalah pasokan sumber dana dapat tertolong. Kasus yang sering terjadi adalah, para pengelola Bank Islam ini belum secara maksimal memanfaatkan potensi Dewan Pengawas Syari’ah. Padahal anggota Dewan Pengawas Syari’ah itu sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk dakwah, sehingga dapat menarik sebanyak-banyaknya calon nasabah bank syari’ah yang bersangkutan. Harus diingat, sejak awal Bank Islam mencari nasabah-nasabah inti yang istiqomah. Sebelumnya penabung harus sudah diberitahu,bahwa imbalan bagi hasil tergantung pada tingkat keuntungan riil bank syari’ah. Secara bertahap, si pemilik dana akan memperoleh bagi hasil yang semakin besar sampai akhirnya tidak terbatas. Maka dari itu, kalau bagi hasil sudah melebihi tingkat suku bunga, persoalan likuiditas tidak lagi muncul. Kalau misalnya terpaksanya harus memberikan imbalan bagi hasil yang memadai, maka lebih bagus bank syari’ah jangan dulu menerima simpanan. Pergunakan dulu dana saham. Setelah ada hasilnya, baru buka simpanan. Itupun harus diinformasikan (pengertian) kepada nasabah. d. Interest Oriented Harus disadari oleh para pengelol bank syari’ah, bahwa interest oriented akan menjadi masalah bagi bank syari’ah pemula, dimana tingkat bagi hasilnya belum mampu bersaing dengan bank konvensional. Ditambah lagi nasabah belum siap terhadap praktek bagi hasil. Sebenarnya, bank syari’ah tidak perlu khawatir nasabahnya lari, bila bagi hasilnya kecil. Kesalahan dari pengelola bank syari’ah adalah pada asumsinya yang menganggap bahwa masyarakat kita adalalh masih materialistik, sehingga kebijakan imbalan bagi hasil tetap mengacu pada bunga bank konvensional. Padahal belum tentu masyarakat kita adalah materialistik. Anggapan ini adalah sangat berbahaya. Bila bank syari’ah memberikan bagi hasil di luar kemampuannya secara terus-menerus untuk tiap bulannya, akan terlihat dalam neraca, labanya semakin kecil. Kondisi ini akan membawa kesan (image) yang tidak baik. Di situ sebenarnya jaminan bank syari’ah terhadap transparansi. Akan ketahuan semakin bagus dan semakin bagus, atau sebaliknya semakin jelek dan semakin jelek. Bagi poengelola lembaga keuangan syari’ah yang belum bagus, kembalilah kepada kewajaran. Coba kenakan bagi hasil yang wajar dan apa adanya. Penabung menginginkan bunga yang tinggi, peminjam menginginkan bunga rendah, jika demikian tidak akan ketemu. Jika keduanya diikuti, yang menjadi turun adalah optimalisasi spread. Akibatnya, spread yang tidak akan optimal menjadikan kinerja bank menurun. Tetapi, kalau dalam operasional bank syari’ah terjadi satu alur saja, yaitu dari pembiayaan ke pendanaan. Bagi hasil pembiayaan yang diperoleh bank dibagikan apa adanya kepada nasabah pemilik dana. BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Bank syariah adalah bank atau tempat penyimpanan dana yang sesuai dengan hukum-hukum dan landasan agama Islam. Bank ini banyak memberikan manfaat dan kemudahan bagi masyarakat, khususnya bagi para muslim. Di Indonesia, mayoritas penduduk beragama Islam, sehingga seharusnya hukum keuangan yang diterapkan mengikuti hukum perekonomian Islam yaitu bank syariah. Bank syari’ah menganut sistem bagi hasil bagi nasabah. Dimana sebuah keberhasilan suatu usaha ditanggung bersama oleh nasabah dan lembaga. Dan dimana prinsip-prinsip manajemen islami mencakup keadilan, amanah dan pertanggungjawaban, dan komunitatif. Bank syari’ah menggunakan sistem Islamic Full Branch yaitu suatu cabang penuh penerapan sistem syari’ah. Dengan ciri : cabang menerapkan sistem sya’riah secara penuh; Pembukaannya secara terpisah dengan kantor induk; Bank Induk masih konvensional harus menyisihkan sejumlah modal untuk unit usaha syari’ah (UUS). 3.2. Saran Dilihat dari keuntungan-keuntungan dan manfaat dari bank syariah sendiri, seharusnya masyarakat menggunakan bank syariah sebagai tempat penyimpan modal. Namun faktanya pada zaman ini masih banyak yang menggunakan bank konvensional karena tergiur oleh bunga yang dijanjikan. Padahal bunga adalah riba dalam hukum Islam. Untuk mendapatkan bunga yang halal dan menyimpan uang dengan cara yang benar sebaiknya seseorang mempertimbangkan secara matang apakah ia akan menyimpan uangnya di bank konvensional atau bank syariah. Adanya Bank Islam (Bank Syari’ah) diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pertumbuhan ekonomi masyarakat melalui pembiayan-pembiayan yang dikeluarkan oleh Bank Islam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar